29 August 2007

RAHASIAKU




Hai sahabat...
lihat deh, bagus-bagus gak??...

Ini nih yang bikin aku beberapa hari ini absen nulis cerpen. Aku lagi tergila-gila banget sama hobi lama bikin manik-manik. Meja kerjaku (di rumah aku punya satu meja khusus yang gak boleh di utak-atik siapapun juga... welll jadi kebayang donk gimana ancurnya meja itu, hihihi) yang sempat rapi itu, kini sudah gak karu-karuan lagi. Hihihi...

Tapi rasanya seneeeeng deh. Pengen dijual tapi kok sayang ya... cuma mau diapain juga punya bros sebanyak ini (yang aku foto ini cuma sebagian aja lho... masih banyak lagi karya-karya yang laennya). Kalau dijual kan lumayan bisa beli manik-manik dan bikin yang baru lagi, hehehe...

Sttsss.. aku kasih tau rahasia ya. Suatu saat nanti aku pengen deh bikin buku tentang cara membuat manik-manik, supaya makin banyak aja orang yang bisa bikin. Dulu banget sih.. aku pernah tuh ngajarin ibu-ibu di Kenjeran, Jawa Timur, pas lagi KKN. Dan seneng deh lihat ibu-ibu itu semangat banget pas belajar...

Tapi butuh fotografer handal nih, sementara satu-satunya fotografer handal yang aku kenal, suka males-malesan kalau dimintain tolong motret manik-manik... kata Mas, "Males ah gak ada bayarannya..." Ih pelit banget deh sama istrinya, padahal kalau ntar bukunya laku Mas mau ta beliin... ah RAHASIA ah. hehehehe...

Selain nulis buku tentang manik-manik, aku juga pengen banget deh bikin sekolah kerajinan buat anak-anak kecil, khususnya tentang cara merangkai manik-manik yang aman buat anak-anak. Bikin counter kecil di Mall-Mall, yang warna-warni, tentunya dengan pembimbing yang sabar dan baik-baik (nggak kaya aku yang gampang emosi... hihihi). Waoo pasti keren dehhh...

Oh iya biar cita-cita ini terwujud, mungkin aku harus ambil sekolah lagi kali ya... Design Jewelery gitu... oh mungkinkah ada laki-laki tampan yang baik hati dan mau menyekolahkanku untuk bidang nggak penting ini. (Massss... jangan pura-pura nggak denger ya... hihihihi)

Ya sudahlah sahabat gitu dulu aja ya cerpen gak penting hari ini...
mau bikin manik-manik yang lebih lucu-lucu lagi nih, hehehe...

luv ya
kie

28 August 2007

LUPA (2)

Cerita sebelumnya : Mas Angga suamiku yang pelupa kehilangan dompetnya

Hah… daripada makin kesal, kuajak Todi ke ruang TV, kuputarkan DVD Brainy Baby kesukaannya. DVD ini sangat cocok sekali untuk anak yang sedang berkembang seperti Todi, mengajarkan hal-hal sederhana seperti mengancing baju, bersalaman, menggunakan sendok, membuat Todi berkembang cukup pesat dibanding dengan anak seusianya. Nah kalau Todi anteng*, aku jadi bisa membantu Mas Angga mencari dompetnya.

"Gimana Pa… sudah ketemu belum?"
"Wah kayanya kok nggak ada ya.." Suara Mas Angga kali ini terdengar putus asa. Aku jadi tak tega mendengarnya. Apalagi setelah kulihat barang-barang di mobil kami tertata dengan tidak karuan.
"Ya sudah sini biar mama bantu nyari" Maka mulailah ku keluarkan barang-barang yang tak perlu dari mobil. Ada Majalah, sepatu, mainan Todi, jaket Todi, bungkus makanan… aduh ini kan bikin mobil kotor, juga ada kaset-kaset. Tapi ternyata percuma… dompet yang dicari tetap tidak ada.
"Pa.. apa mungkin dicopet orang?" Entah bagaimana tiba-tiba aku mengucapkan pertanyaan itu begitu saja.
"Hm… masa si? Kayanya tadi nggak ada orang yang mencurigakan deh Ma"
"Ya syukur deh kalau gitu"
"Tapi kalau jatuh sih mungkin aja ma.." Grhhhh… suamiku ini memang suka membuatku gemassss.
"Kalau jatuh kemungkinannya dimana Pa?" Tanyaku sambil berusaha sabar.
"Mungkin di Toko DVD"
"Apa nggak sebaiknya kita telfon atau datang kesana lagi…" Usulku
"Kalau jatuh dari tadi apa sekarang nggak sudah hilang?" Hmm… betul juga apa yang dikatakan suamiku.
"Tapi apa nggak kita coba dulu mas.."
"Hheeh… atau kita ikhlaskan aja ya Ma, mungkin sudah waktunya hilang" Mas Angga terlihat begitu pasrah sambil duduk di lantai garasi kami.
"Isinya apa aja pa.." Tanyaku pelan, berusaha untuk tidak membuat suamiku semakin sedih.
"Ada foto box kita bertiga Ma.. wah kan gak ada klisenya" Jawab Mas Angga. (Satu jawaban lagi yang membuatku gemas) Aduh…suamiku ini, yang dipikirkan kok malah foto box. Tapi kalau diingat lagi… memang sayang juga sih, itu kan foto box pertama kita bertiga dengan Todi.
"Trus uangnya banyak gak Pa…"
"Paling cuma empat puluh ribuan, kata Mama kan kalau bawa duit banyak jangan ditaruh dompet semua". Benar juga sih, aku memang selalu cerewet pesan ini dan itu, tujuannya ya supaya kalau dompet hilang nggak sampai harus kehabisan uang. Syukurlah Mas Angga ingat.
"Tapi kartu ATM buat ambil gaji ada di situ Ma.."
"Oh kalau itu sih gak masalah… langsung telfon ke Layanan 24 jamnya aja, minta di blokir, trus kita ke kantor polisi bikin surat keterangan hilang, habis itu bawa ke Bank nya, ntar juga langsung dibuatin yang baru" Kalau urusan ini sih aku sangat fasih. Aku kan Customer Service Officer salah satu Bank Swasta Nasional. Aku sudah sangat terbiasa menangani nasabah yang mengalami masalah seperti ini.
"Aduh… ribet banget deh, nanti Papa minta diurusin orang kantor aja lah" Tuh kan manjanya keluar lagi deh. Padahal apa sih repotnya cuma blokir via telfon dan ke kantor polisi aja.
"Ya sudah terserah papa aja…"
"Aduh Ma… KTP sama SIM Papa juga ada di dompet itu" Kini suara Mas Angga terdengar lebih panik.
"Ya sama aja Mas… kalau mau ngurus itu tetap harus minta surat keterangan dari polisi"
"Nggak seribet itu kali Ma… Papa mau ke Pak RT aja, Pak Sanusi kan orangnya baik banget, pasti bisa Bantu… hari gini asal ada uang apa sih yang nggak bisa". Tuh… Mas Angga, sukanya menggampangkan semua masalah. Untuk yang satu ini aku sudah menyerah… Mungkin kali ini lebih baik kubiarkan saja suamiku melakukan apa yang menurutnya paling tepat.
"Yah terserah Mas ajalah.."
"Ya sudah kalau gitu sekarang aku ke rumah Pak Sanusi dulu ya.."
"Ya sudah hati-hati ya Pa…" Kulepas kepergian suamiku dengan doa. Semoga apa yang menjadi usahanya diberi kemudahan oleh Allah SWT.

Aku segera bergegas ke ruang TV, kulihat Todi sedang asyik sekali melihat DVD kesayangannya. Tangan dan ekspresi wajahnya bergerak lucu mengikuti gambar seorang anak yang sedang bermain ci luk ba. Sambil menunggu Mas Angga, aku pun mulai merapikan rumah. Maklumlah… punya anak sebesar Todi, sama artinya sangat susah menjaga rumah tetap bersih dan rapi.

Eh apa ini… saat aku berusaha mengembalikan posisi sofa tempat kami biasa menonton TV, terasa ada yang mengganjal. Dengan takut-takut kucoba mengintip ke bawah kolong sofa. Astagfirullah.. eh Alhamdulillah, ini kan dompet Mas Angga. Segera kuambil benda penting yang sudah merepotkan kami dari tadi.
"Simpen..mpen.." Tiba-tiba Todi berusaha mengambil dompet yang kupegang.
"Loh… ini dompet Papa sayang, mau dibuat apa"
"Simpen.. ma.. sim..mpen" Lalu buah hatiku ini meletakkan kembali dompet papanya di bawah sofa. Oh mengertilah kini aku, pasti Todi sering mendengarku meminta Mas Angga untuk selalu menyimpan barangnya agar tidak lupa. Dan Oleh Todi diartikan menyimpannya di bawah sofa. Ternyata anak sekecil ini memperhatikan, dan sedang berusaha menyimpankan dompet Papanya. Walaupun akhirnya justru berbuntut panjang seperti ini.

Aku jadi tidak bisa menahan senyumku. Kupeluk Todi sayang.
"Todi… dompet papa tidak boleh disimpan di bawah kursi ya, nanti Papa carinya susah. Dompet ini ditaruh di laci.." Segera kusimpan dompet suamiku di laci agar tak hilang lagi. "Nah sekarang kita telfon Papa yuk.. supaya pulang, karena dompetnya sudah ketemu". Segera aku menuju telfon rumah dan memutar nomor telfon Mas Angga, yang sudah kuhafal diluar kepala. Sayup…sayup terdengar lagu Pintu Sorga nya Gigi. Yah lagi-lagi Mas Angga lupa membawa Handphone nya. Ya.. sudahlah nanti juga kembali. Tapi tak berapa lama menunggu, kudengar suara Mas Angga dari arah kamar kami.
"Ma liat kacamata Papa nggak ya... Papa lupa naruh dimana".
Ya ampun ternyata dari tadi Mas Angga belum berangkat-berangkat karena mencari kacamatanya. Oh suamiku tercinta… (kie)

Ket :
Primpen : bahasa jawa yang artinya orang yang hidupnya teratur dan rapi.
Melas : bahasa jawa yang berarti ekspresi wajah kasihan, putus asa.
Anteng : bahasa jawa yang berarti duduk diam dengan tenang

27 August 2007

LUPA

"Ma… lihat dompetku nggak?" Teriak suamiku dari arah kamar kami.
Kuhela nafas panjang… lagi-lagi mas Angga lupa meletakkan dompetnya. Sebenarnya ini bukan yang pertama kali, dan bukan hanya dompet, tapi juga kacamata, kunci motor, handphone, jaket, majalah… dan entah apalagi. Huuh… kata siapa hanya orang tua saja yang gampang lupa, suamiku yang masih 30 tahun, dengan postur yang tegap dan gagah (juga wajah cukup tampan sehingga membuatku jatuh cinta) sedikit-sedikit… ada saja yang kelupaan.

Dan Tuhan memang Maha Adil. Untuk suamiku yang ceroboh dan mudah lupa dipasangkanlah dengan aku, Miss primpen* nan rapi (julukan sayang Mas Angga untukku) sebagai istrinya. Kadang aku juga merasa takjub dengan keahlian ini, entah bagaimana.. tapi aku selalu saja bisa menemukan barang yang lupa diletakkan suamiku. Sementara menurut Mas Angga, justru karena keahlian itulah ia memilihku menjadi istrinya (suamiku itu memang pandai merayu).

Saat pertama mendengarnya sih perasaanku sangat tersanjung, dalam hati aku merasa sudah sukses menjadi perempuan yang teratur dan rapi seperti harapan Ibu. Tapi lama-lama aku jadi kesal sendiri, karena seperti saat ini… sedikit-sedikit mas Angga selalu saja menanyakan letak ini dan itu…, membuatku harus menghentikan apapun yang sedang kulakukan, hanya sekedar untuk menemukan barang-barangnya yang hilang.

"Sudah dicari di meja makan belum mas..?"Tanyaku sambil terus sibuk menyuapi Todi, putra kami satu-satunya yang belum genap dua tahun.
"Sudah, tapi gak ada.."
"Kalau gitu di sofa deket TV mas, kadang kan mas suka naruh kunci disitu"
"Gak ada juga Ma.."
"Di lemari baju gimana?"
"Iya, ini lagi Papa bongkar… " Waduh, Mas Angga mbongkar lemari? Sudah terbayang pekerjaan besar yang menantiku setelah ini. Apalagi kalau bukan membereskan lemari pakaian kami yang pasti akan sangat berantakan.

"Ma..em.." Todi kecil menarik-narik sendok yang ada di tanganku, membuatku tersadar untuk segera menyuapkan buburnya. Melihat tingkah Todi yang lucu dan menggemaskan itu, membuatku bisa sedikit melupakan rasa kesal pada Mas Angga. Dalam hati tiba-tiba saja aku jadi berdoa, semoga kalau sudah besar nanti Todi nggak ceroboh kaya papanya.

Kadang aku suka mereka-reka, apa ya yang kira-kira menyebabkan suamiku begitu ceroboh dan gampang lupa. Mungkin karena Mas Angga selalu dimanja oleh keluarganya… maklumlah, suamiku adalah anak satu-satunya dari keluarga yang serba berkecukupan. Bisa dibilang sejak kecil selalu ada yang melayani semua kebutuhan Mas Angga. Ini semua jelas berbeda sekali dengan aku, yang anak pertama dari 5 bersaudara, dari kecil Ibu selalu meminta agar aku bisa memberi contoh yang baik pada adik-adikku.

Tapi apa iya penyebabnya itu? Mungkin juga sebenarnya Mas Angga memiliki gen mudah lupa, karena Bapak mertuaku juga persis sama seperti Mas Angga, sedikit..sedikit…lu..pa. (Ini juga berdasarkan bocoran yang aku dapat dari Ibu mertua). Tapi ya sudahlah.. bagaimanapun Mas Angga kini suamiku. Aku mencintai suamiku lengkap dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Walaupun.. itu semua tidak menyurutkan hasratku untuk menghilangkan kebiasaannya yang gampang lupa. Karena makin lama, cape rasanya harus terus mencari barang ini dan itu…

"Ma.. di lemari juga nggak ada" Suara Mas Angga terdengar begitu putus asa.
Aku sudah bertekad, kali ini tidak akan cepat-cepat turun tangan, aku ingin Mas Angga tau bagaimana repotnya mencari barang hilang. Yah siapa tau saja setelah ini.. Mas Angga akan lebih teliti saat menaruh barang-barangnya.
"Terakhir kali papa ngeluarin dompet kapan?" Tanyaku berusaha membantu Mas Angga mengingat-ingat lagi dimana dompetnya.
"Hm… kapan ya Ma, kayanya terakhir pas mau ngeluarin member card sewa DVD deh" Jawab Mas Angga ragu, sambil mencoba mengingat-ingat.
"Terus setelah itu Papa ngapain?"
"Beli teh botol, tapi nggak pake ngeluarin dompet"
"Trus setelah itu.."
"Pas mbayar parkir juga nggak ngeluarin dompet"
"Yakin Pa?"
"Eh kayanya ngeluarin deh Ma… aduh ngeluarin apa enggak ya?" Mas Angga mulai ragu lagi. Habis ini pasti deh suamiku tercinta itu akan pasang wajah melas* minta dibantuin nyari dompetnya. Dan pasti aku tak kuasa menolak permintaan suamiku itu.
"Gini deh… tadi pas ke supermarket papa pake celana apa, sudah dicari belum di saku-sakunya?"
"Wah mama memang cerdas… Papa kok nggak kepikiran ya nyari di dalam celana tadi. Sebentar ma… papa cari di tempat baju kotor dulu" Seru Mas Angga bersemangat. Untung aja ada aku, yang sudah ahli dalam hal nyari barang hilang. Tapi tampaknya kali ini aku tidak begitu cerdas, karena tak berapa lama kulihat Mas Angga kembali ke ruang makan dengan wajah lesunya.
"Di celana yang tadi juga nggak ada Mam.."
"Mungkin gak ya Pa jatuh di mobil, tadi Papa bawa mobil apa naek motor sih?" Sekarang aku jadi ikutan panik sendiri.
"Naik mobil si… ya sudah biar Papa cari di mobil, kali jatuh di bawah kursi"
"Iya Pa… duh moga-moga ketemu ya" Kulihat Mas Angga bergegas menuju garasi mobil, tapi belum lima menit dia sudah kembali lagi.
"Kenapa Pa… di mobil juga nggak ada?"
"Anu Ma… kunci mobil ditaruh dimana ya?" Grhhh… gemas aku mendengar pertanyaannya.
"Ya di tempat biasa Pa… di laci nomer dua di depan pintu dapur, deket pintu mau ke garasi" Kali ini susah rasanya untuk menyembunyikan nada kesal di suaraku.
"Hehehe… iya ya, maaf ya Ma. Papa lupa" Mas Angga malah cengengesan sambil garuk-garuk kepala, yang kuyakin pasti bukan gatal karena ketombe, yah memang sudah kebiasaan saja, kalau lupa suamiku itu pasti garuk-garuk kepala (bersambung)

24 August 2007

“RAMADHAN… Sebentar lagi”

Gara-gara komentar Atun tentang serunya sinetron bertema puasa yang makin marak di Televisi, aku jadi tersadar.. bahwa bulan Ramadhan tinggal sebentar lagi. Tak terasa waktu berjalan begitu cepatnya… padahal aku belum mempersiapkan apa-apa.

Kalau diberi umur panjang, maka ini akan menjadi Ramadhan pertama bersama keluarga kecilku. Ramadhan kemarin, kami memang masih tinggal di rumah Ibu. Dengan alasan untuk menemani ibu yang sudah ditinggal Bapak, sekaligus juga memudahkan bagiku untuk menitipkan chika, buah hati kami yang masih balita. Waktu itu aku memang masih bekerja di sebuah perusahaan swasta. Namun setelah usai lebaran, Mas Dharmawan suamiku, dipindahtugaskan oleh kantornya ke Banjarmasin. Jadilah keluarga kecil kami hijrah ke kota ini. Dan aku pun memulai kehidupan baruku sebagai Ibu Rumah Tangga.

Aku memang masih tak sepandai Ibu dalam hal mengolah bahan makanan menjadi masakan yangistimewa. Tapi dalam hati kecilku, terselip keinginan untuk menjadikan Ramadhan ini istimewa. Aku harus bisa menyajikan makanan yang bergizi dan enak. Aku ingin menjadikan ini pengalaman puasa yang tak terlupakan bagi Chika, yang tahun ini akan menjalankan puasa pertamanya.

Maka aku mulai menyusun target. Aku pun segera membuat daftar menu makanan yang akan kusajikan selama bulan puasa. Tapi aku masih belum pernah membuat beberapa menu minuman buka puasa… kolak pisang, es cendol, es kelapa muda, es buah, es campur rumput laut, es teller dengan alpukat, hm…membayangkannya saja sudah membuatku menelan air liur. Wah tapi jangan minuman aja donk, aku harus belajar membuat kue-kue kecil juga… pastel, risoles, lumpia, makaroni goreng, hm.. apalagi ya…

Masih sambil bingung menyusun daftar menu, tiba-tiba aku teringat buku-buku resep masakan yang sengaja diberikan Ibu untukku. Mungkin aku bisa menemukan beberapa resep makanan dan minuman untuk buka puasa. Dengan semangat kubongkar isi lemari buku, mencari resep-resep makanan yang pernah diberikan ibu. Tapi bukannya ketemu… yang ada malah isi lemari jadi makin berantakan entah kemana.

Ah daripada repot-repot, kenapa aku tidak browsing di internet saja untuk mencari resep menu hidangan berbuka puasa. Lagian hari gini apa sih yang nggak ada di Internet… hehehe, aku jadi semangat memikirkan ide brilianku itu. Segera aku buka layar komputer, masuk google, dan mendaftarkan kata kunci yang kuinginkan. Yess… banyak sekali resep yang aku cari.

Satu demi satu resep yang menurutku menarik, mulai ku print.. setelah ini aku akan pergi ke Abang tukang fotokopi untuk menjilid resep-resep baruku. Pasti masak akan lebih semangat kalau resepnya rapi. Sambil menunggu hasil print jadi… aku mencari informasi tentang menu dan cara membuat makanan sehat… Wah harus aku sisipkan buah-buahan juga nih dalam menu buka puasa nanti. Apa ini sudah saatnya untuk membeli blender ya… pasti akan memudahkanku untuk membuat jus. Atau mungkin perlu microwave ya… biar makanan untuk sahur selalu dalam keadaan hangat. Duh kenapa rasanya banyak sekali yang belum aku siapkan ya..

Diantara kepusingan yang aku alami, Chika bidadari kecilku yang baru pulang dari TKnya datang menghampiri.
“Bunda… lagi sibuk ngapain sih” Tanyanya ingin tahu
“Ini Sayang… bunda lagi ngumpulin resep-resep buatbuka puasa nanti”
“Wah asyik donk, Bunda mau masak macem-macem ya..”
“Iya donk… biar Chika semakin semangat puasanya”
“Asyik..asyikk…Bunda kalau puasa nanti kita sholat teraweh nggak?”
“Ya iya donk Sayang, di bulan Ramadhan setelah Sholat Isya kita di sunnahkan untuk Sholat Teraweh. Nanti kita pergi sholat sama ayah sama mbak atun juga”
“Tapi bunda…” Tiba-tiba nada suara Chika terdengar sedih
“Tapi kenapa Sayang?” Tanyaku mencoba mencaritau penyebab suara sedih Chika.
“Chika belum tau caranya Sholat teraweh Bunda…, tadi di sekolah Chika baru belajar doa buka puasa sama doa sahur”
Deg… tiba-tiba aku seperti disadarkan, kenapa begitu hebohnya mempersiapkan makanan ini dan itu. Padahal Sholat dan doa yang kutau pun masih belum sempurna. Kenapa tidak kusempurnakan dulu amalan ibadahku… “Duh Gusti Allah SWT, ampunilah dosa hambamu ini”, bisikku dalam hati
“Iya Sayang… nanti kita belajar sama-sama ya”
“Asyikkk…”
“Ya sudah sekarang Chika ganti baju dulu aja, habis itu kita makan siang ya”
“Oke Bun.. Oh iya, chika mohon maaf ya Bunda. Kata Bu Arini tadi, sebaiknya sebelum memasuki bulan Ramadhan kita saling memaafkan” Ucap Chika tulus sambil tersenyum manis.
“Iya Sayang… Bunda juga minta maaf ya”. Tak kusangka hari ini aku belajar begitu banyak dari putri kecilku.

23 August 2007

"WOULD YOU MARRY ME?" (2)

cerita sebelumnya : Diani kecewa Charlie, mantan kekasihnya sewaktu SMA, memutuskan menikah duluan.

Hari minggu yang cerah ini sengaja kupaksa Rully untuk menemaniku berbelanja. Buatku, shopping selalu jadi refreshing paling manjur untuk wanita yang sedang patah hati (Please jangan tanya berapa uang yang sudah kuhabiskan sejak aku putus dengan Charlie). Sengaja aku datang ke tiga Mall sekaligus, di Mall terakhir bahkan Rully memutuskan membeli sandal tipis yang nyaman untuk mengganti highheels-nya.Hehehe… dia benar-benar sahabat yang rela berkorban. Semua bukan tanpa alasan. Sejujurnya aku takut Charlie benar-benar menjalankan rencananya untuk datang ke rumahku. Huuh pasti dia mau pamer calon istrinya ke aku.

Tak tega melihat Rully yang sudah semakin kelelahan, aku pun memutuskan pulang ke rumah selepas Magrib. Dan di rumah aku dihadapkan pada pemandangan paling mengejutkan (versiku) untuk abad ini. AKu melihat Charlie, lengkap dengan Mama Yance dan Om Hans di Ruang Tamuku. Dan yang lebih fantastis lagi kulihat mereka sedang tertawa-tawa dengan Papa Mamaku, serta Risha Kakakku. Sial!! Apa yang sedang mereka tertawakan, kemana pula calon istri si Charlie… kenapa tak kulihat sosok wanita asing diantara orang-orang itu.

Ragu-ragu kulangkahkan kaki. Masuk… Tidak.. Masuk..Tidak… Terlambat. Mama sudah mengeluarkan suara khasnya menyapaku..
“Eh yang ditunggu-tunggu sudah datang…” Mama keluar menghampiriku, kemudian menarik tanganku masuk ke dalam ruang tamu tanpa kompromi. Kulihat Charlie tersenyum melihatku yang sedang berdiri, kikuk tak tau harus bagaimana. Oh My God, kenapa laki-laki ini terlihat makin tampan saja sejak 6 bulan terakhir kali kami bertemu.
“Duduk sini Ni…” Kakakku Risha menggeser duduknya untuk kutempati.
“Ada apaan sih ni Kak?” Tanyaku berbisik di telinga Risha. Bukannya menjawab dia malah senyum-senyum tolol sendiri.
“Pada prinsipnya sih kami setuju saja Pak Hans.. yah terserah anak-anak saja maunya bagaimana, kan mereka-mereka ini yang menjalani” Tiba-tiba Papa yang biasanya pendiam dan tak banyak bicara mengeluarkan kalimat yang terdengar mencurigakan di telingaku. Wah apa-apaan ini… Aku menatap Mama kebingungan. Sementara Mama malah sibuk membuka toples-toples yang berisi kue-kue maha karyanya.
“Maaf Pa Ma.. Om Tante… sebenarnya ini ada acara apa ya?” Akhirnya kulontarkan saja pertanyaan yang membuatku penasaran itu. Dan sepertinya aku salah, karena semua yang ada di ruangan itu menatapku takjub. Bukan semua, karena Charlie justru sibuk menahan senyumnya.
“Diani!!! jangan bilang kamu belum tau kalau Charlie datang kesini untuk melamarmu…?” Mama mengeluarkan kalimat yang membuat darahku berhenti mengalir. Melamar? Charlie? Melamarku?? Maksudnya.. aku, Diani dilamar Charlie.
“Charlie… jangan bilang kamu belum kasih tahu Diani tentang kedatangan kita ini?” Sekarang giliran Tante Yance yang menatap Charlie dengan heran.
“Maaf Om Tante Heru, Kak Risha… Mama.. Papa… sebenarnya Charlie memang belum bilang sama Diani, karena.. Diani pasti mau kok” Sebuah senyuman nakal mengakhiri kalimatnya yang penuh percaya diri itu. Masih antara sadar dan tidak aku berdiri dan segera menarik Charlie ke teras depan rumah kami.
“Maksud kamu apa sih…?” Tanyaku masih emosi
“Lho aku datang ngelamar kamu Ni… bukannya kamu pengen banget jadi istriku?” Tega-teganya dia masih bisa bercanda di saat aku tegang begini.
“Kamu jangan mainin aku ya… kamu kan sudah mau kawin, kenapa masih berani-berani datang ngelamar anak orang”
“Iya… aku memang mau kawin, tapi aku juga maunya cuma kawin sama kamu Princess” Princess adalah panggilan sayang Charlie untukku.
“Maksudmu… yang kemarin ditelfon itu, bulan desember.. mau kawin sama aku…?” Tanyaku masih tak percaya.
“Yah kalau kamunya gak mau, terpaksa aku batalin deh gedungnya”
“Charlie… tega-teganya kamu sudah pesen gedung sebelum tanya pendapatku” Reflek tanganku mencoba memukul bahu Charlie, tapi terlambat karena tangan Charlie yang lebih kekar terlebih dahulu menangkapnya… Dan detik berikutnya, sambil berlutut Charlie menggenggam tanganku dan mengucapkan kata-kata terindah yang pernah aku dengar
“Would You Marry Me Princess… I Really love You”
“Yes, I do..” Jawabku tanpa ragu (kie)

22 August 2007

“WOULD YOU MARRY ME?” (1)

“Ni… desember ini aku mau kawin” Bagai disambar geledek rasanya saat mendengar kalimat itu keluar dari bibir Charlie. Untung saja.. rangkaian kata-kata maut itu kudengar dari balik Nokiaku… seandainya saja dia mengatakannya tepat di hadapanku saat ini, pasti dia akan GR setengah mati melihat reaksiku. Sial… setelah lewat tiga tahun, aku masih saja tidak bisa menghilangkan perasaan ini.

Charlie adalah mantan pacar pertamaku. Kami putus tiga tahun yang lalu. Hampir semua orang yang mengenal kami menyayangkan keputusan itu. Tapi mau bagaimana lagi, permasalahan yang ada diantara aku dan Charlie begitu rumitnya, aku lelah, lalu menyerah… dan kemudian menyesalinya hingga detik ini. Sayang aku terlalu sombong untuk mengakuinya di hadapan Charlie. Sampai kuterima berita maut itu sore tadi.

Iya… Charlie-ku mau kawin empat bulan lagi. Sementara aku, tak pernah menemukan laki-laki lain sejak berakhirnya hubungan kami, atau lebih tepatnya semenjak aku secara sepihak memutuskan hubungan kami. Mama nggak setuju kalau hubunganku dan Charlie jadi semakin serius. Jangan bilang mamaku aneh, mama hanya ‘terlalu’ sayang padaku. Charlie memang selalu sopan dan baik pada keluargaku, tapi harus kuakui Charlie memang bukan pria dengan masa depan cerah seperti yang ada dalam kategori mama.

Aku kenal Charlie di SMU, dia kakak kelasku. Dia sangat terkenal, disegani, bahkan ditakuti oleh sebagian besar murid di SMU-ku. Karena Charlie lebih dikenal sebagai ketua gank preman yang sangar dan kasar di sekolah. Kenyataan ini berbeda 180 derajat dengan aku, yang sejak kecil selalu sakit-sakitan, anak mami yang punya postur tubuh kurus ringkih, hobi pingsan saat upacara, gambaran nyata sebuah sasaran empuk penindasan para preman sekolahan.

Tapi ajaibnya, hidupku selalu aman di sekolah. Konon kabarnya itu semua karena Charlie melarang siapapun menggangguku. Entah kasihan atau memang sejak awal Charlie sudah cinta mati padaku, tapi pada kenyataannya dia memang selalu menjagaku. Dan di suatu siang sepulang sekolah, saat hujan turun dengan deras, dia menemaniku duduk di depan teras sekolah. Dan hari itu menjadi salah satu hari paling bersejarah dalam hidupku, hari dimana aku mulai mengenal cinta.

Aku harus akui, sosok Charlie yang urakan dan apa adanya telah berhasil membuatku jatuh cinta. Aku merasa sangat nyaman saat bercerita dengannya. Tingkah Charlie yang konyol juga sering membuatku tertawa lepas, sesuatu yang sebelumnya jarang aku lakukan. Sepanjang perkenalan kami hingga akhirnya aku resmi menjadi pacar Charlie dua tahun kemudian, dia selalu memperlakukanku dengan sopan dan lembut. Membuatku merasa menjadi perempuan paling beruntung di muka bumi.

Sayangnya tidak demikian menurut mama. Walaupun awalnya mama menerima Charlie dan menyayangi dia apa adanya (yeah right… karena mama merasa punya bodyguard gratis yang setia menjagaku). Tapi setelah hubungan ini menginjak tahun ke empat Mama mulai berulang kali menyatakan keberatannya. Mama bilang, cukuplah sudah hubungan main-main ini, sudah saatnya aku mencari laki-laki yang memiliki masa depan lebih baik. Dan aku mengerti benar maksud mama.

Charlie memang tidak pernah menyelesaikan kuliahnya seperti aku. Tapi kurasa itu bukan keputusan yang salah. Mama pun dulu tidak menyelesaikan kuliahnya karena keburu diajak kawin oleh papa, dan tak punya waktu untuk meneruskannya lagi. Namun kalau mama terpaksa melakukan itu, Charlie justru dengan sukarela memutuskan berhenti kuliah (keputusan yang akhirnya membuat nilai Charlie turun drastic dimata mama). Alasannya sederhana, kalau tanpa kuliah sudah bisa punya penghasilan buat apa cape-cape buang tenaga dan duit untuk kuliah. Kurasa benar juga, toh tujuan akhir sekolah tinggi-tinggi agar bisa punya pekerjaan berpenghasilan tinggi. Sayang Mama tidak berpikir sama denganku.

Papa yang awalnya hanya diam tak pernah berkomentar melihat hubunganku dan Charlie, juga ikut mengeluarkan sebuah statement yang membuatku semakin ragu untuk meneruskan hubungan ini “Sekolah S1 bukan cuma sekedar buat dapet kerja bagus Diani, tapi lebih kepada cara berfikir, menyelesaikan masalah. Suatu saat nanti, kamu pasti bosan dengan laki-laki yang bicaranya tidak lagi nyambung sama kamu” AKu tak pernah tahu apakah suatu saat aku akan bosan dengan laki-laki penuh kejutan seperti Charlie, tapi apa yang Papa bilang memang ada benarnya.

Lalu tanpa angin dan tanpa badai, kuputuskan untuk menyudahi hubungan itu. Yah begitu saja… tanpa pernah kusampaikan alasannya panjang lebar kepada Charlie. Kata Ruly sahabatku, aku Ratu Tega yang tidak berprikemanusiaan dan berprikeadilan, aku cuma tertawa menanggapi kata-katanya yang bagai penggalan Pancasila. Tapi saat sedang sendiri, aku tak henti-hentinya menangisi keputusan itu.,membuat mataku bagai ikan mas koki.

Dan tahukah apa yang membuatku menangis? Bukan… bukan karena aku menyesali keputusan itu, terus terang aku sudah memikirkannya matang-matang. Aku hanya tak mengira, Charlie bisa menerima keputusanku dengan ikhlas. Benar-benar I-K-H-L-A-S ! bahkan dia tak pernah menanyakan alasannya. Malam itu dia hanya menatapku dalam diam, menggenggam tanganku lama, mengakhirinya dengan mengecup keningku, lalu pergi. Begitu saja, tanpa banyak kata-kata.

Lalu aku pun memulai episode kehidupanku yang sepi. Dua bulan sekali, Charlie menelfon untuk sekedar menanyakan kabarku. Aku sendiri tak pernah berusaha menghubunginya… via telfon, Tapi jangan ditanya bagaimana giatnya aku mencari informasi semua hal tentang dia. Dari pura-pura beli permen di warung rokok langganan Charlie, demi mendapatkan hot gossip dari Mang Ujang yang memang salah satu sahabat karibnya. Mengerahkan Ruly sebagai mata-mata untuk mencari info dari mantan teman kuliah Charlie, sampai sengaja duduk berjam-jam di Café langganan Charlie sambil berdoa dalam hati semoga bisa bertemu Charlie tak sengaja.

Hasilnya tak mengecewakan. Walaupun aku jarang berbicara langsung dengannya, aku tau… dia sukses menjalankan Kios HPnya, bahkan dari Mang Ujang kudengar kabar dia akan membuka cabang di sebuah Mall baru di tengah kota. Tidak hanya itu, Charlie juga mulai menjalankan bisnis Event Organizer sekaligus persewaan alat-alat pesta. Laki-laki lulusan SMA itu bahkan menjadi donatur tetap sebuah Yayasan Sosial dan sudah mulai mencicil rumah dari penghasilannya sendiri.(Sesuatu yang pasti membuat nilai Charlie naik drastic di mata mama)

Sementara aku, yang lulusan S1 dengan predikat Cum Laude dari sebuah perguruan Tinggi Negeri, kini harus berpuas diri dengan gaji yang ‘pas’ dari sebuah Perusahaan Asing terkemuka di Negeri ini. Dan yang harus digaris bawahi, pria lulusan SMA itu akan kawin empat bulan lagi. Sementara aku.. masih terus hidup dalam kenangan-kenangan sialan ini.

Kuhela nafas panjang. Rasanya percakapan ditelfon sore tadi masih terus terngiang di telingaku.
“Ni.. desember ini aku mau kawin”
“Oh ya…” Tanyaku sambil berusaha menyembunyikan rasa kaget dan tak percaya.
“Iya… aku sudah cape sendiri” Dia mengucapkannya begitu tenang tanpa perasaan bersalah (kalau kalimat itu akan menyakitiku yang masih bertahan terus sendiri)
“Apa nggak terlalu cepat?” Tanyaku begitu saja tanpa kendali
“Hehehe… kamu lucu deh. Apa lagi yang aku cari Ni… aku sudah punya penghasilan, aku juga mulai nyicil rumah, nggak besar sih tapi lumayan buat keluarga kecilku nanti”
“Oh…”
“Kamu nanti bisa datang kan ni?”
“Iya aku usahakan… lagian masih desember juga kan?”
“Aku mau kamu datang Ni?”. Sial, kenapa dia begitu ingin aku datang? Mau pamer kalau dia sekarang jauh lebih bahagia dari pada aku. Gerghghh! Aku benar-benar tak dapat mengendalikan rasa iri dihatiku.
“Iya… pasti aku usahakan. Eh sudah dulu ya… aku masih ada kerjaan”
“Boleh hari minggu aku datang ke rumahmu?”
“Buat apa? Masa udah mau ngirim undangan sekarang sih?”
“Ya enggaklah… aku pengen ketemu kamu Ni. Aku kangen” Huuuuh dasar laki-laki buaya darat. Sudah mau kawin masih sempat-sempatnya bilang kangen-kangen sama mantan pacar.
“Jangan ah… aku nggak enak sama calon istri kamu”
“Kamu nggak pernah kangen aku Ni?” Ya jelas kangen bego!! Rasanya aku ingin berteriak keras-keras di telinganya. Tapi mana mungkin kulakukan hal itu.
“Eh sudah dulu ya… aku benar-benar sibuk!” Segera kuputuskan sambungan telfon tanpa mendengar kalimatnya lebih lanjut (sebenarnya karena aku tak ingin dia mendengar suara tangisku lebih lanjut). (bersambung)

21 August 2007

SELINGKUH

Kuambil lagi sobekan artikel majalah itu dari laci meja riasku. TANDA-TANDA PRIA SELINGKUH. Terlihat lebih rapi dan wangi dari biasanya. Hm.. dalam dua minggu terakhir ini Mas Bimo sudah membeli 3 stel pakaian baru ditambah 2 buah polo shirt, yang semuanya dipilih sendiri, bahkan saat membelinya pun tanpa mengajakku. Padahal sejak kami pacaran dulu, urusan pilih-pilih pakaiannya selalu menjadi bagianku, itu pun paling cepat 3 bulan sekali untuk satu stel pakaian kerja. Dan gak hanya itu, dua hari yang lalu aku melihat Mas Bimo mengacak-acak lemari hanya untuk mencari celana dalamnya yang baru kubelikan, please deh... toh yang lama-lama juga masih bagus, kenapa juga harus ngotot cari yang baru, memangnya mau dilihat siapa sih.

Sering pulang lebih malam dengan alasan pekerjaan atau meeting dengan klien. Oh... tanda yang nomor dua ini sangat jelas sekali. Sudah hampir satu bulan terakhir ini Mas Bimo selalu pulang hampir jam 11 malam. Padahal dulu paling malam hanya jam 9, itu pun sudah di dului dengan pemberitahuan. Tapi sekarang, jangankan telfon, sms ku saja jarang sekali di balasnya. Dan ini sama persis dengan tanda yang nomor tiga. Pasangan jadi sulit dihubungi dengan alasan-alasan klise : lupa, baterai habis ataupun tidak sempat membalas karena sangat sibuk.

Tapi tanda di nomor empat ini yang semakin menguatkan dugaanku kalau Mas Bimo, suamiku sedang selingkuh dengan perempuan lain. Pasangan menjadi lebih romantis dan suka memberi banyak hadiah (tentu maksudnya untuk bisa menebus kesalahannya pada kita). Walaupun aku sangat suka Mas Bimo akhir-akhir ini jadi bersikap lebih romantis dan penuh perhatian terhadapku, tapi sungguh diluar kebiasaannya mengirimkan buket bunga yang indah untuk sekedar bilang I love You. Dan Gelang emas bertaburkan berlian ini benar-benar bukan Mas Bimo banget. Selama dua belas tahun aku mengenalnya, bisa dibilang baru ini perhiasan pertama yang dipilihkan Mas Bimo untukku. Biasanya dia akan selalu mengucapkan kata yang sama saat kuminta menemani membeli perhiasan “Udahlah Ma.. pergi sendiri aja ya. Pilih yang Mama suka nanti bayarnya pakai ATM aja, duitnya sudah papa transfer ko”. Malam ini juga aku harus bicara dengan Mas Bimo.

“Mama lagi ngapain sih?, serius banget kelihatannya” Tiba-tiba saja suara Tia gadis kecil kami membuatku terkejut.
“Eh kamu belum tidur Sayang?”
“Belum ma… tadi habis ngerjain PR”
“Ya sudah, kalau gitu sekarang tidur ya…”
“OK Bos!! Tapi mama kenapa sih wajahnya sedih gitu… kangen papa yaaa?”
“Uhh… kamu ini bisa aja” kucubit dengan gemas hidungnya yang mungil
“Papa kok sekarang pulangnya sering malem ya ma?” aku sungguh terkejut Tia mengucapkan hal yang dari tadi terus menjadi pikiranku
“Papa kan banyak kerjaan sayang, jadi pulangnya terpaksa harus malem”
“Tapi mama ngerasa gak sih kalau sekarang Papa makin genit?”
“Maksudnya?” Tanyaku sambil berusaha menyembunyikan rasa terkejutku karena pernyataan Tia barusan.
“Itu lho Ma… Papa kan sekarang wangi banget gitu kalau mau ke kantor, udah gitu masa kemaren pake baju pink. Ih norak banget deh cowo pake baju pink” Oh ternyata Tia pun merasakan perubahan yang terjadi pada Papanya
“Aduh.. aduh.. anak Mama, baru kelas 4 SD udah gaya banget ya ngatain Papa nya genit, udah sekarang cepet bobo ya… besok pagi Mama yang anterin kamu ke sekolah”
“Iya deh.. Met bobo ya Ma” Kemudian setelah mencium kedua pipiku, gadis kecilku itu pun berlalu menuju kamarnya.
Kutarik nafas panjang dengan perasaan yang sangat lelah. Oh Tuhan… apakah semua kecurigaanku ini beralasan?

Sayup-sayup kudengar suara mobil Mas Bimo memasuki garasi. Jam 22.35
“Kok baru pulang Mas?” Tanyaku tanpa ekspresi
“Sayang… kamu kan tau aku baru di promosi u pegang kantor wilayah Indonesia Barat, jadi yah hampir setiap hari aku harus keliling ke beberapa kantor cabang”
“Bener?... bukan karena habis ketemuan sama seseorang… mungkin perempuan mana gitu” Sekarang aku sudah tak taham lagi untuk tidak mulai menuduh suamiku
“Ya sudah pasti donk Ma, masa papa keliling cabang gak ketemu siapa-siapa” Mas Bimo melirikku sambil tersenyum “Tapi ya tentu saja ketemuannya untuk urusan bisnis, lagian kok tumben sih mama jadi cemburu gini”
“Habis Papa juga sih… belakangan ini jadi aneh”
“Aneh gimana maksudnya?”
“Belakangan ini Papa jadi lebih dandan, lebih wangi, suka beli baju baru…”
“Hahaha… kok gitu aja aneh sih Ma, bukannya Mama juga tiap hari dandan, selalu wangi trus juga sering beli baju baru..” Jawab Mas Bimo sambil memelukku sayang
“Trus kenapa minggu lalu Papa kirim bunga segala buat Mama?”
“Oke…oke.. Papa ngaku. Kalau tentang bunga itu sebenarnya karena Kris seketaris Papa kelebihan pesan bunga yang harusnya dikirim untuk relasi. Karrena terlanjur sudah dibayar.. jadi ya Papa minta saja untuk dikirim buat Mama. Mama gak suka ya?” Oh mata itu.. begitu tenang meneduhkan, selalu berhasil membuatku merasa jatuh cinta. Rasanya memang gak mungkin Mas Bimo selingkuh, pasti aku saja yang terlalu berlebihan hanya karena artikel di majalah itu.
“Ko jadi diam sih ma… pasti mama kebanyakan lihat sinetron nih, kok jadi cemburu-cemburu segala gini”
“Trus kenapa Papa ngebeliin Mama gelang segala?”
“Duh… masa gak boleh sih mbeliin untuk istrinya sendiri? Mama lihat deh Papa” kutatap wajah Mas Bimo takut-takut “Sudah hampir sepuluh tahun ini Mama setia mendampingi Papa, apa salah kalau Papa sekali-sekali pengen ngasih Mama hadiah. Kalau ditanya kenapa gelang? Yah.. karena Papa kira Mama pasti suka dibelikan perhiasan, waktu beli Papa juga bingung lho Ma… nggak nyangka ada begitu banyak model, karena bingung yah Papa pilih aja yang paling mahal. Bagus kan?” Seketika itu juga tangisku pecah, kupeluk Mas Bimo erat-erat.
“Maafin Nisa ya Mas… Nisa cemburu, Nisa curiga Mas selingkuh sama perempuan lain setelah baca artikel ini” kutunjukkansobekan artikel yang sudah mulai kumal itu kepada suamiku. Sambil bingung tak mengerti, Mas Bimo pun mulai membacanya dan kemudian tertawa.
“Oalah Nisa… kamu ini ko ya ada-ada aja. Sudah ah… kita lanjutkan peluk-pelukannya di tempat tidur aja yuk” Kerlingnya nakal yang kusambut dengan cubitan mesra.

***

Keesokkan harinya di sebuah coffeShop di Hotel berbintang lima di Pusat Kota.
“Kita harus segera mengakhiri hubungan ini Al”
“Maksudmu?”
“Aku sudah tidak bisa lagi meneruskan hubungan kita. Kemarin malam istriku sudah curiga”
“Hh… teganya kamu bilang begitu”
“Maafkan aku Al”
“Sepuluh tahun yang lalu kamu juga mengatakan hal yang sama, aku sudah maafkan. OK lah kalau waktu itu kamu ingin membahagiakan orangtua mu. Tapi sekarang… mereka sudah mati, kapan giliran kita untuk bahagia. Kamu tidak pernah mencintai istrimu kan… Cuma aku yang bisa membahagiakanmu Bim.. kamu pasti tau itu”
“Cukup Aldo… aku sudah gak mau dengar itu lagi”
“Baik kalau itu memang keputusanmu. Baik. Tapi jangan coba-coba untuk mencari aku lagi. Kamu laki-laki Brengsek!” Kemudian dengan wajah merah padam laki-laki bertubuh langsing itu meninggalkan Bimo yang sedang tertunduk lesu di sudut café.
“Aku mencintaimu Aldo… maafkan aku” Bisiknya lirih (kie)

17 August 2007

BERANTEM (2)

cerita sebelumnya : Rani menemukan 18 missed call dan 4 sms di handphonenya. Dan semuanya dari Nisa.

“Ran.. barusan aku dengar Dani bicara dengan seseorang lewat telfon. Aneh kan ngapain tengah malam gini ada telfon. Mungkin gak ya Ran dia punya perempuan lain. Apa dia gak suka aku lagi setelah aku melahirkan?”
01/07/2007 00:35 nicha imoets

“Dani pergi Ran, buru-buru, waktu aku tanya mau kemana dia bilang ada urusan.. urusan apa coba Ran tengah malam gini?”
01/07/2007 01:07 nicha imoets

“Aku sudah coba telfon Dani berkali-kali, tapi gak diangkat Ran.. kenapa dia tega banget sama aku… padahal anak kita masih bayi”
01/07/2007 02:47 nicha imoets

“Sudah azan Subuh tapi Dani belum juga pulang.. aku harus gimana Ran?”
01/07/2007 05:01 nicha imoets


“Whatt? Dani pergi dari rumah tadi malam dan sampai subuh gini belum pulang. Apa-apaan ini” Aku benar-benar tak habis pikir. Dengan semangat 45 aku ceritakan masalah Nisa ke Bayu. Tapi tanggapannya dingin-dingin saja “Yah mungkin memang lagi ada urusan kali Ran”
“Huuhh dasar laki-laki membela sesama kaumnya…” Jawabku judes
“Lho..lho kok kamu jadi ikutan marah sih” Goda Bayu sambil memakan roti bakar yang jadi menu sarapan kami pagi ini.
“Tapi emang gitu kan, kamu coba donk mas ngerti perasaan Nisa, dia kan baru melahirkan, butuh perhatian, lagian ini kan hari minggu mas… emang ada urusan apa sih?”
“Ya terus gimana donk Ran… kamu mau nyuruh aku nyari-nyari Dani pergi kemana?” Tanya Bayu dengan suara menggoda saya
“Ya nggak gitu juga sih… tapi gimana kek?”
“Yah gimana donk?”
“Iya..ya mas… emang kita bisa ngapain. Aku juga bingung” Tiba-tiba aku jadi ikut merasa putus asa. Duh apalagi Nisa yang ngalami ini ya..
“Ya sudah kamu telfon aja Nisa dulu, tenang-tenangin… Dia kan masih ngasi ASI bayinya, kalau stress malah nggak keluar lagi” Tiba-tiba aku merasa begitu bersyukur punya suami Bayu.

Tapi rasa syukur ini kembali berubah jadi kepanikan yang sukar dikendalikan saat kudengar suara Nisa ditelfon yang tidak jelas terdengar karena diselingi suara tangisnya.
“Pokoknya kalau dia ketauan punya perempuan lain, aku mau minta cerai” sayup kudengar kata-kata Nisa
“Sa…Istigfar, loe kan belum tau gimana duduk permasalahannya. Tenang aja dulu sa… Lagian kita kan belum dengar penjelasan Dani”
“Duh apalagi sih Ran yang perlu dijelaskan, semua sudah jelas. Nggak mungkin kalau bukan karena perempuan lain dia jadi aneh gini”
“Iya…iya kamu jangan emosi donk sa, kasian kan bayinya, nanti air susunya nggak keluar lho kalau stres-stres”
“Terus aku harus gimana donk Ran”
“Hmmm gimana ya… aku juga bingung”
“…..” Nisa masih terus terdengar menangis di ujung pesawat telfon
“Ya sudah kita tunggu aja sampai Dani pulang untuk dengar penjelasannya” Kataku tiba-tiba sok bijak.
“Itu juga kalau dia pulang… kalau dia nggak pulang?” Wah aku sama sekali gak memikirkan kemungkinan Dani akan tidak pulang.
“Yah kita lapor polisi aja sa. Bilang ada orang hilang… gampang kan”
“Iya ya Ran…”
“Ya sudah sekarang kamu istirahat aja dulu ya. Kalau ada apa-apa kabari aku ya Sa”
“Makasih ya Ran”
Lalu sambungan telfon pun terputus.
Maka hari minggu itu pun menjadi hari terpanjang dalam hidupku. Rasanya jam dinding bergerak lambat sekali. Biasanya aku mengisi hari minggu dengan membaca Novel ataupun menonton DVD bersama Bayu, tapi rasanya aku tak sanggup melakukan apapun hari ini. Seluruh pikiranku tersita memikirkan Nisa, membayangkan bagaimana nasibnya kalau dia berpisah dengan Dani.

Selesai makan siang sms ku berbunyi, seperti yang kuduga kabar dari Nisa.

“Kata Mbok Sum, waktu aku tidur tadi Dani telfon ke rumah. Di HP ku juga ada beberapa missed call Ran.. tapi bukan dari nomer HP Dani. Pasti dia telfon dari rumah Perempuan itu”
01/07/2007 12:41 nicha imoets


Segera kubalas sms Nisa

“Mungkin HPnya low bath sa, jadi Dani pake telfon umum. Udah loe tenang aja… dia ninggal pesan gak?”
SENT 01/07/2007 12:43

“Wah aku lupa nanya Mbok Sum.. Ntar gw kabari lagi Ran”
01/07/2007 12:44 nicha imoets

“OK. Gw tunggu kabarnya”
SENT 01/07/2007 12.45

Lima belas menit berlalu, Nisa masih juga belum memberikan kabar. Aku jadi semakin penasaran. Kulihat Bayu suamiku sudah mulai pasang posisi tidur siang. Hm… sepertinya enak juga, tapi kalau aku ketiduran aku bisa kelewatan kabar dari Nisa. Untunglah HPku kemudian berbunyi, sms dari Nisa.

“Gak nitip pesan apa-apa tuh Ran. Aneh kan? Eh tapi itu kayanya suara mobil Dani. Wah gue harus gimana nih Ran… Pokoknya kalau dia ketahuan maen perempuan. Gue mau minta cerai”
01/07/2007 01:06 nicha imoets


“Apa?? “ Sumpah mati aku kaget membaca sms Nisa yang terakhir. Nisa mau cerai sama Dani. Ya ampun gimana nasib bayi mereka nantinya. Walaupun aku dan Bayu belum dikaruniai bayi, menurutku sangat tidak bijaksana memutuskan bercerai saat sudah memiliki bayi. Eh bukan berarti kalau belum punya bayi boleh gampang-gampang minta cerai lho… duh aku kok jadi bingung sendiri. Kucoba berulang kali menelfon nomer HP Nisa namun tidak ada jawaban. Kucoba nomer telfon rumahnya, diangkat oleh Mbok Sum.
“Non… Non kesini aja ya. Ibu sama Bapak berantem Non… ini Si Adek lagi nangis, lagi bibik coba diemin Non” Kata perempuan tua itu panik diantara suara tangis Zidane, anak Nisa dan Dani.
“Ya sudah Mbok Sum saya segera kesana”

Aku bangunkan Bayu dengan paksa. Bukannya aku nggak bisa kesana sendiri, tapi rasanya aku butuh teman untuk menghadapi pertengkaran Nisa dan Dani. Sambil ngomel-ngomel karena dibangunkan dari tidur siangnya, Bayu segera bergegas mencari kunci mobil.
“Duh yang bener aja donk Ran… Bogor kan jauh, males tau”
“Sentul mas… gak sampai Bogor”
“Aduh itu juga udah deket banget kali sama Bogor, mending juga tidur siang”
Aku diam saja tak menanggapi. Aku benar-benar bingung, harus bagaimana menghadapi ini. Duh bagaimana kalau mereka sampai bercerai.
“Ran..Ran… bengong aja nih” Goda Bayu sambil melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku.
“Udah deh mas… yang penting nyetir aja yang kenceng biar cepet sampai”
“Idih judes banget sih?”
“Ini tuh gawat darurat banget mas.. Nisa sama Dani mau cerai, mask ok masih bisa-bisanya sih bercanda?”
“Waw harus dibawa ke Rumah Sakit donk, Gawat Darurat”
“Gak lucu tau mas…”
“Ih serius banget sih tante…” Goda Bayu sambil mencolek pipiku. Menyebalkan. Gak tau kalau istrinya lagi panik. Sisa perjalanan sampai tiba di rumah Nisa aku masih meneruskan aksi mogok bicara. Kubiarkan bayu bernyanyi-nyanyi mengikuti suara Pasha-Ungu, yah walaupun suara Bayu enggaaak banget deh dibandingkan Pasha.

Akhirnya sampai juga di depan pintu rumah Nisa. Pintu rumahnya terbuka. Buru-buru kutarik lengan Bayu agar bisa segera masuk menemui si empunya rumah. Deng…Deng… Kutemukan pemandangan menakjubkan di kamar tamu rumah itu. Nisa yang kabarnya sudah bertekad bulat ingin bercerai dengan Dani, kulihat sedang bergelayut manja di lengan suaminya. Duh apa-apaan ini… setelah semalaman berhasil membuatku panik memikirkan nasib rumah tangga mereka (yang kubayangkan sudah di ambang kehancuran) eh ternyata malah disuguhi pemandangan ala Film India.

“Rani… Wah sudah lama datang?” Tanya Nisa seakan tidak terjadi sesuatu
“Lama… sampe eneg gue ngeliat lu mesra-mesraan ama Dani” Bisikku cukup keras, yang pasti di dengar oleh Bayu, kulihat dari sudut mataku dia tampak mati-matian berusaha menahan tawanya.
“Lho kok ngambek gitu sih… Eh Bay ngobrol-ngobrol sama Dani dulu ya. Mau nyelesein urusan perempuan dulu nih. Sayang… ini ada Bayu datang” Huuuuh gak inget apa ya gimana isi sms nya, sekarang aja udah sayang-sayangan lagi. Kuikuti Nisa menuju ruang tengah, disanalah dia bercerita panjang lebar tentang kemana Dani semalam. Ternyata Dalam dua bulan terakhir ini, sudah beberapa kali gudang pabrik milik Dani dibobol pencuri, dan tadi malam si pencuri itu berhasil tertangkap. Ternyata pencurinya adalah mantan sekuriti yang dipecat dari perusahaan. Setelah diinterogasi habis-habisan oleh Team keamanan pabrik (untuk berjaga-jaga siapa tau masih ada komplotan yangbelum tertangkap), pagi tadi pencuri-pencuri yang tertangkap itu pun segera dibawa ke kantor polisi. Dan tau sendiri kan urusan sama kantor polisi, rumit, ribet dan lama. Apesnya lagi di saat yang sama, handphone Dani mati karena kehabisan baterai.

Walaupun dalam hati rasanya dongkol sekali, tapi aku bersyukur tidak ada hal buruk yang terjadi pada rumah tangga sahabatku itu.
“Ya sudah sa… awas lu ya bikin gue panik lagi” kataku pura-pura ngambek
“Iya Rani sayang… maafin aku ya. Aku kan belum sepengalaman kamu dalam hal kaya gini”
Akhirnya ku ajak Bayu suamiku untuk pulang. Dan bisa ditebak donk… sepanjang jalan Bayu tak henti-hentinya menggodaku.
“Awas…awas… gawat darurat” Godanya dengan senyum penuh kemenangan.
yah kalau diingat-ingat lagi, apa yang kulakukan tadi rasanya memang konyol sekali.
“Masss… udah deh, iya aku yang salah sudah terlalu berlebihan”
“Hehehe… seneng aja rasanya ngegodain kamu Ran” Tatap Mas Bayu lembut
“Nanti malam kita dinner di Moon Café yuk Mas”
“Wah ada yang ngajak gencatan senjata nih”
Aku hanya tersenyum menanggapi.
“Tuh sudah sampai rumah”
“Biar aku bukain pintu pagar dulu mas” Aku pun bergegas turun dari mobil Bayu. Belum sampai pintu pagar handphone ku berbunyi nyaring tanda satu sms telah diterima. Sms dari Nisa

“Dani memang menyebalkan. Bukannya kangen-kangenan sama aku dan Zidane, sekarang dia malah sudah tidur. Mana ngorok keras banget lagi Ran… kebayangkan suaranya ganggu banget. Kalau kaya gini semalaman, mana aku bisa istirahat”
01/07/2007 18:56 nicha imoets


Kuhapus cepat sms itu tanpa kubalas. (kie)

15 August 2007

BERANTEM ( 1 )

Pernah berantem sama pasangan? Entah itu masih dalam status teman, teman dekat, teman tapi mesra, pacar, apalagi suami… yang namanya beda pendapat, rasanya sangat wajar terjadi. Kata Ibu sih “Yah namanya saja dua orang yang berbeda, latar belakang keluarga beda, jalan pikiran beda… jadi yo wajar toh Nduk kalau sekali-sekali bertengkar…“

Dan Alhamdulillah aku punya partner bertengkar yang seimbang, Bayu suamiku. “Aneh deh, berantem kok malah Alhamdulillah si?”. Lho tapi memang bagus kan kita masih punya teman beda pendapat. Kalau selama ini kita tidak punya teman berantem untuk mendiskusikan pendapat kita yang berbeda, Waspadalah!! Karena itu bisa menjadi pertanda bahwa tidak ada orang yang peduli dengan apa yang kita pikirkan dan lakukan, atau kemungkinan paling buruk kita memang tidak punya teman. Seram gak sih??

Seperti kebanyakan pasangan, beberapa kali kami juga bertengkar. Mulai dari hal yang sepele seperti : lebih enak lewat jalan mana supaya cepat sampai ke pasar, atau yang agak serius : kenapa telfon dan sms nggak dibalas-balas, sampai yang cukup serius : cemburu karena suami masih akrab dengan mantan pacar. Tapi sekali lagi Ibu benar, semakin sering kita komunikasikan pendapat kita yang berbeda dengan pasangan, maka kita akan semakin kenal dengan pasangan.

Jadi jangan pernah berfikir kalau berantem dengan pasangan tidak ada manfaatnya sama sekali. Wah salah besar… Karena justru di saat terjadi beda pendapat ini, kita jadi makin tau sifat-sifat asli pasangan. Waktu kuliah dulu ada teman yang pacarnya kelihatan saba…arrr sekali, eh tapi sekalinya marah, si pacar yang sabar ini tidak segan-segan main tangan… “PLAK..PLAK..” dan itu dilakukan di depan orang banyak. Lain lagi ceritanya dengan seorang sepupu yang punya pacar super romantis, tiap “ngapel” gak lupa bawa bunga, belum lagi hadiah-hadiah lain seperti puisi, coklat dan boneka wah pokoknya benar-benar pacar impian. Tapi saat dia cemburu karena melihat sepupu saya diantar pulang oleh teman kuliahnya, laki-laki super romantis itu langsung marah-marah dan mengeluarkan kata-kata “jahat” yang benar-benar susah dimaafkan seorang wanita. Yah pokoknya kalimat yang jahat banget dan gak pantas gitulah. Karena itu semua saya mengambil kesimpulan, bahwa dari cara seseorang marah, kita bisa lebih mengenal bagaimana kepribadian dia sebenarnya.

Dengan alasan untuk makin saling mengenal itu, maka sudah tidak terhitung berapa kali kami bertengkar dalam empat tahun masa pacaran ditambah tiga tahun usia pernikahan ini. Kalau dulu saya suka pusing kenapa Bayu jadi lebih pendiam saat kami mulai beda pendapat, sekarang saya jadi lebih mengerti bahwa itulah saat dimana ia butuh ruang lebih banyak untuk memikirkan pendapatnya yang berbeda. Katanya sih “Biar gak ada kata yang disesali karena sudah terlanjur diucapkan dengan emosi” (inilah salah satu alasan kenapa aku langsung menerima lamaran untuk menjadi istrinya waktu itu).

Namun sikapnya itu justru berbeda 180 derajat dengan aku, yang justru akan bicara tanpa henti saat tidak setuju dengan sesuatu yang dilakukan ataupun dipikirkannya. Kalau di awal-awal dulu dia akan sibuk memotong kalimat panjangku untuk menyampaikan argumentasinya (dan tentu saja itu semakin membuat aku makin marah dan emosi) kini dia akan diam mendengarkan dan baru bicara setelah aku mulai merajuk, kenapa dia diam saja (cara ini terbukti lebih efektif membuat kami tidak berantem lama-lama).

Tapi mengalami sendiri dan menyaksikan orang lain berantem dengan pasangannya, adalah dua hal yang sangat berbeda. Walaupun bagiku beda pendapat dengan pasangan adalah hal yang wajar, namun saat Nisa bercerita pertengkarannya dengan Dani suaminya, aku jadi orang yang paling panik sedunia.

Nisa adalah sahabat dekatku semenjak SMA. Sampai akhirnya menikah dengan Dani di usia 27 tahun, sudah tak terhitung berapa banyak jumlah mantan pacarnya. Jelas itu bukan hal yang mengherankan, karena Nisa gadis yang cantik dan menarik, satu-satunya kelemahan yang dia miliki adalah sikapnya yang kekanakan dan sedikit manja (namun besar dugaan saya, sikap ini juga yang membuatnya menarik bagi banyak laki-laki). Dari sekian banyak laki-laki yang dikenalnya, Nisa memutuskan untuk menikah dengan Dani, hanya tiga bulan setelah pertemuan pertama mereka. Aku jelas jadi orang yang paling terkejut, tapi katanya Dani adalah soulmate yang dia cari. Aku masih ingat, bagaimana waktu itu aku menggodanya “Uhhh… soulmate apa soulmate sa? Bilang aja tajir, keren, sukses, calon politikus handal lagi”. Memang bukan rahasia lagi, kalau di usianya yang baru 28 thn Dani sudah berhasil menjalankan tiga perusahaan keluarganya, tidak hanya itu, dia juga cukup dikenal sebagai kader muda yang bersinar cerah dari sebuah Partai dengan massa terbanyak di negeri ini. Dan Nisa hanya tertawa gembira menanggapi pertanyaan tadi.

Tapi tawa gembiranya tidak bertahan lama. Baru satu bulan sejak pernikahannya, Nisa mulai sering mengirimkan sms-sms yang mengeluhkan tentang sikap Dani suaminya.

“Wajar gak sih baru satu bulan jadi pengantin baru tapi suami loe sudah dua hari gak pulang ke rumah, ninggalin istrinya kesepian sendirian…”
08/06/2006 23:04 nicha imoets


Pertama kali membacanya aku benar-benar kaget dan panik. Walaupun sudah menjadi tekadku untuk tidak mencanpuri urusan rumah tangga orang lain, sekalipun ia sahabat dekatku sendiri, namun sms Nisa menjelang tengah malam itu benar-benar membuatku susah tidur. Berbagai pikiran buruk menghantui diriku “Gila!! Kemana si Dani? Tega sekali dia ninggalin Nisa dua hari tanpa kabar gitu, dasar laki-laki gak bertanggungjawab” caci makiku dalam hati. Tapi semuanya segera kusesali saat akhirnya aku tau, bahwa Dani memang pergi keluar kota dua hari karena urusan pekerjaannya. Dan yang harus digaris bawahi DANI SUDAH IZIN sama Nisa. Bahkan sebelumnya ia menawarkan Nisa untuk ikut, namun ditolak mentah-mentah karena kota tujuan Dani yang nun jauh di pedalaman Kalimantan “Ih mana ada Mall disana, ngapin juga gue ikut” Enteng saja Nisa bicara alasannya kepadaku, sungguh membuatku gemasss!!!

Bulan-bulan berikutnya sms-sms senada makin sering kuterima. Tapi aku lebih bijaksana menanggapinya, tidak langsung main tuduh seperti saat pertama kali dulu. Yang dikeluhkan Nisa pun makin beragam, mulai dari: kenapa para suami gak punya toleransi (sukanya naruh barang sembarangan padahal rumah baru dibersihkan) hingga kenapa suami gak punya pengertian (istrinya lagi ngidam martabak telor eh kok malah dibelikan martabak manis, pas minta dibelikan lagi suami dengan teganya bilang besok aja). Kadang aku suka tertawa sendiri membacanya, kadang juga jengkel kenapa kok jadi harus ikut mikir masalah yang seharusnya gak perlu ikut nambah pikiran gitu.

Setelah Nisa melahirkan bayi pertamanya, masalah nampaknya menjadi semakin berat. Karena di saat yang sama di Jakarta akan dilangsungkan PILKADA. Sebagai kader yang bersinar tentu saja peran serta Dani sangat dibutuhkan oleh Partainya. Namun di sisi lain, Nisa yang baru tiga bulan melahirkan anak pertama mereka merasa Dani sudah keterlaluan. Walaupun dalam hati kecilku aku sedikit setuju dengan Nisa, tapi Bayu suamiku melarang untuk ikut campur terlalu jauh dalam urusan rumah tangga mereka. Hari demi hari sms yang kuterima dari Nisa makin seram-seram saja isinya

“Aku cape bicara dengan Dani. Aku gak didengerin sama sekali. Bahkan dia sekarang gak mau tidur lagi dikamar kami. Alasannya cape. Masuk akal gak sih Ran?”
30/06/2007 21:01 nicha imoets


Tak kubalas sms Nisa malam itu. Dalam hati aku berusaha berfikir positif. Mungkin benar Dani lelah, kalau tidur di kamar yang sama dengan Nisa dan Zidane, bayi mereka, Dani mungkin harus terbangun berkali-kali di tengah malam karena suara tangisan bayi. Walaupun tetap saja menurutku itu sikap yang seenaknya sendiri “Huuuhh pas mbuatnya aja… semangat. Pas udah lahir gak mau ikut cape ngurusin” omelku dalam hati penuh emosi.

Paginya saat bangun tidur kutemukan ada 18 missed call dan 4 sms yang belum kubaca. Kulihat semuanya dari Nisa. Kuhela nafas panjang... (bersambung)

13 August 2007

KETIKA CINTA DATANG

Umurku 27. Rasanya angka yang masih jauh dari kata perawan tua yang terlambat menikah. Toh Bu Diah, Bosku, masih sering kulihat gonta-ganti pasangan di usianya yang hampir 40. Sayangnya tidak demikian menurut Ibuku.

Setiap saat Ibu tidak bosan-bosannya menyuruhku segera menikah, macam-macam saja alasannya. Dari yang halu dan bernada menyindir “Si Rasti anak tetangga kita yang baru 19 tahun itu sudah punya bayi lho, duh lucu tenan Nduk.. Ibumu ini juga sudah gak sabar pengen cepet-cepet punya cucu juga. Kamu kapan toh arep nyusul?” Sampai yang diucapkan dengan nada perintah yang tegas “Tahun ini kamu harus sudah kawin lho Muthi, jangan kerja aja yang kamu pikirin. Inget lho perempuan itu makin tua makin susah punya anak. Kalau sudah gitu nanti.... bla..bla..bla...”. Dan karena aku hanya tinggal berdua dengan Ibu, pesan sponsor itu menjadi begitu seringnya aku dengar.

Seandainya saja ada Bapak, tentu Ibu tidak akan sesibuk ini “ngurusin” aku. Paling tidak akan ada orang lain yang mendapatkan curahan perhatian dan kasih sayang Ibu yang tidak ada habisnya itu. Sayang Bapak gak ada. Dan Ibu tidak pernah mau menceritakan sedikitpun tentang keberadaan laki-laki itu. Jangankan cerita, baru kutanya sedikit saja tentang Bapak, Ibu sudah terlihat sangat marah dan sedih. Biasanya setelah itu aku akan melihat Ibu menangis sendirian di sudut dapur, terlihat begitu rapuh dan lemah.

Mangkanya aku pun berhenti menanyakan tentang Bapak pada Ibu. Jangankan tau cerita aselinya dari Ibu, foto laki-laki itu tak ada satu pun yang aku tau. Dari Tante Lies, sepupu Ibu di Yogya aku sedikit tau cerita bahwa Bapak pergi meninggalkan Ibu di saat usiaku belum genap tiga tahun. Bapak adalah mahasiswa dari Surabaya yang ngekost di rumah Eyang di Yogya. Ibu yang anak tertua dipercaya untuk mengurus kost-kost an itu. Dan mereka jatuh cinta (yah kurasa pasti ada cinta yang sangat menggebu-gebu diantara mereka saat itu, karena aku lahir di saat usia pernikahan mereka baru menginjak bulan ke empat).

Kata Tante Lies, saat itu Eyang Kakung sangat malu dan mengusir Ibu. Bapak yang mahasiswa baru akhirnya putus kuliah dan mmbawa ibu pindah ke Jakarta. Namun meninggalkan kami begitu saja tiga tahun kemudian. Yah peduli setan dengan cerita itu, bagiku sosok Bapakk sudah lama mati, walaupun harus kuakui kadang aku merasa begitu merindukan kehadirannya. Aku ingat saat di SD dulu aku pernah mogok sekolah karena ingin diantar Bapak seperti Suci temanku. Ibu marah besar waktu itu. Walaupun aku tidak ingat benar bagaimana sosoknya, aku ingat... dulu Bapak suka menggendong dan mengajakku berdansa. Entahlah... tapi rasanya ingatan itu melekat begitu eratnya di kepala.

Jadi jangan heran kalau sekarang aku begitu sukanya berdansa, di banding clubbing dengan musik yang menurutku hanya bikin sakit kepala. Aku lebih suka menghabiskan waktuku dengan teman-teman di klub dansa. Dan tentu saja, Waltz is my favourite. Kedengarannya memang kurang asik, apalagi mengingat penampilanku yang lebih cocok menjadi penari salsa. Tapi menurutku akan sangat romantis berdansa Waltz dengan orang yang kita cintai.

Yah sayangnya amat jarang sekali pria zaman sekarang yang bisa Waltz. Ada sih beberapa, tapi biasanya kalau dia bisa waltz ada saja kriteria lainnya yang kurang dimataku, yang kurang tinggi lah, gak seiman (ini syarat utama dari Ibuku), obrolannya membosankan atau bau badannya menyengat mengerikan. Tapi kebanyakan sih karena rata-rata mereka kurang punya kepribadian. Yeah Yo’re Right, mobil pribadi, rumah pribadi, deposito pribadi bahkan kalau perlu pesawat Jet pribadi.

Kedengaran materialistis? Ya iyalah, omong kosong kalau orang bilang bisa hidup cukup dengan cinta. Ibuku adalah contoh nyatanya. Prinsipku Cinta datang setelah perut kenyang. Dan buat perempuan seperti aku, dengan ehem... gaji 7 digit, rasanya gak cukup dengan sekedar perut yang kenyang. Aku perlu pakaian yang pantas, serta Tas dan sepatu yang matching. Perawatan tubuh juga sampai saat ini aku lakukan dengan rutin di sebuah salon terkemuka di pusat kota. Belum lagi urusan gadget yang akan mempermudah kehidupan. Mungkin itu juga alasan kenapa sampai saat ini aku belum juga menemukan pria yang tepat.

Bukannya gak ada yang naksir aku lho, paling tidak dalam tiga bulan terakhir ini aku kencan dengan empat pria yang berbeda, walaupun rasanya semua memiliki kekurangan di mataku. Yah sebenarnya gak semuanya sih, ada satu yang menurutku cukup menarik. Wisnuaji. Tampan, cerdas, berpenghasilan menggiurkan dengan gaji yang menjanjikan, dan hm... seksi, oh iya dia juga seiman (seperti pesan ibu). Sayangnya... (oh kenapa kata ini sellau muncul setiap aku mengenal pria baru) Dia duda (itu juga pengakuannya ke aku, jadi harus dibuktikan lagi setelah aku lihat KTP nya) dan umurnya 50 tahun. Selisih 23 tahun dengan umurku. Memang sih di TV saat ini banyak artis yang menikah dengan selisih umur segitu, tapi aku kan bukan artis. Aku juga gak tau apa pendapat ibu tentang ini. Tapi toh aku hanya pergi tiga kali dengannya, walaupun kami memang sering telfon-telfonan dan bertukar email setiap hari, tapi itu kan bukan berarti dia akan datang melamarku.

Tapi waktu bisa merubah banyak hal. Diantara mereka yang datang dan pergi dalam kehidupanku. Wisnuaji setia menemaniku. Aku jatuh cinta padanya, terutama karena dia bisa berdansa. Bukan Waltz memang, tapi rasanya dia begitu luwes melakukannya. Aku merasa sangat nyaman berada di dalam pelukannya. Mungkin aku yang terbawa suasana kota Bali (saat itu aku dikirim untuk mengikuti seminar oleh kantorku, dan dia memutuskan untuk menyusul ke Bali agar bisa menghabiskan weekend bersamaku). Karena malam itu hujan, kami pun memutuskan untuk makan malam di hotel. Dia memesan lagu Beatifull Girl dan memintakku berdansa dengannya. Dia memelukku begitu hangat. Tangannya yang kokoh membuatku merasa begitu tentram berada dalam pelukannya... hingga hari berganti. Yah... akhirnya malam itu kami lewatkan bersam di kamar hotelku yang berbeda dua lantai dari kamarnya, diatas ranjang yang sama, tanpa sehelai busana. Kami lewatkan malam dingin itu dengan penuh kehangatan. Itu pertama kalinya untukku, dia memperlakukanku begitu lembut. Herannya aku sama sekali tidak merasa menyesal, dan bahkan melakukannya lagi sebelum kami sama-sama mandi pagi. Dan bagaikan kecanduan kami melakukannya berulang-ulang kali selama satu minggu kemudian (Akhirnya kami berdua memutuskan untuk cuti dan berlibur bersama di Bali. Dan entah sudah berapa kali sejak kami kembali ke Jakarta.

Hingga malam itu, Wisnuaji melamarku. Dan bagaikan dalam sinetron-sinetron di TV, air mataku menetes dengan tiba-tiba, merasa terharu karena sebentar lagi aku mungkin akan berhasil membahagiakan Ibu. Maka kususunlah acara makan siang bersama di rumah untuk memperkenalkan calon menantu ibu.
“Aduh Muthi ibu penasaran sama pacarmu itu” Untuk kesekian kali sungguh bahagia rasanya melihat wajah ibu sesumringah itu.
“Yah nanti Ibu liaht sendiri aja”
“Lagian kamu itu Nduk..Nduk.. kok ya pake rahasia-rahasia segala sama Ibu, tau-tau langsung minta izin mau kawin”
“daripada sudah dikenal-kenalin kemana-mana tapi gak kawin-kawin nanti ibu malah tambah kepikiran kan... kaya siapa itu tetangga yang pernah ibu ceritain sama Muthi”
“Iya ya... kamu ini memang paling bisa aja Muthi”
“Anaknya siapa dulu donk Bu”
“Ibu sayang sekali sama kamu Nak, semoga laki-laki ini nantinya bisa membahagiakan kamu, lahir bathin. Gak seperti dia....” Tiba-tiba suara ibu terdengar makin lirih, Ibu pasti ingat Bapak lagi.
“Ah sudah donk Bu nggak pake acara sedih-sedih segala ah. Ibu doain Muthi aja ya... Muthi Cuma pengen lihat Ibu bahagia” Kupeluk ibu dengan erat, dalam hati terselip doa semoga Ibu suka dengan Wisnuaji, dan nggak mempermasalahkan usia dan statusnya yang duda. Tiba-tiba bel rumah berbunyi.
“Itu pasti pacarmu Muthi, buruan buka pintu.. biar Ibu Toto Dahar dulu”
“Sip Bu” Setengah berlari kubuka pintu rumah dnegan bersemangat. Oh Wisnu terlihat gagah dan lebih muda dengan kemeja birunya. Gaya dan wajahnya sama sekali tidak menampakkan usianya yang sudah 50. Dan kalau laki-laki berumur 50 memang sehebat itu di tempat tidur, rasanya usia bukanlah faktor penghalang kami untuk menikah.
“Hai... kamu keliatan ganteng sekali” Kucium pipinya dengan mesra
“Makasi Sayang.. kamu terlihat tambah seksi pakai celemek gitu” bisiknya mesra sambil tersenyum nakal.
“Hayuuu... mulai deh, Yuk ku kenalin sama Ibu.. nanti kamu kasihkan sendiri aja jeruk sama bunganya”
“OK Manis..” Bergegas kutarik lengannya menuju ruang makan sederhana di rumah kami
“Ibu... kenalin donk ini calon menantu Ibu”
“Selamat Si...” Tiba-tiba Wisnu menghentikan kalimatnya. Matanya menatap ibu dengan sangat terkejut, jeruk dan bunga di tangannya terlepas begitu saja. “Ra...tih” Kutatap ibu dengan penuh tanda tanya, kenal dimana dua orang ini, kenapa Wisnu bisa tau nama gadis ibu padahal aku belum pernah menceritakannya sama sekali. Dan kalimat yang keluar dari bibir Ibu sungguh tak dapat kupercaya “Keluar dari rumah ini bajingan!!!”
“Ibu kenapa kasar begitu?” Kuikuti ibu yang berlari menuju kamarnya. Aku butuh jawaban. Penjelasan atas sikap Ibu. Ibu masih terus menangis.
“Ibu sudah kenal Wisnu?” tanyaku perlahan, dan jawaban Ibu membuat lututku lemas “Batalkan rencana perkawinanmu itu Nduk... dia Bapakmu”
OH MY GOD... aku tak tau harus berkata apa, terutama karena di saku bajuku terdapat amplop putih berisi hasil test pack ku pagi ini. Aku hamil. Dan sama seperti Aku, bayi ini anak Wisnu. (kie)

MAMA YANG PALING CANTIK

Tanpa harus bolak-balik lihat cermin, aku sudah sangat hafal bagaimana bentuk wajahku, hm.. sangat-sangat Indonesia. Wajahku bulat dengan mata yang besar, hidung gak begitu mancung (itu juga karena aku gak tega bilang pesek), bibir juga gak bisa dibilang tipis, rambut ikal (yah agak lumayan keren karena sekarang lagi trend) tapi sayangnya dengan warna yang gak hitam, dan rasanya nanggung kalau dibilang coklat. Dan semuanya jadi semakin lengkap karena kulitku yang sawo matang. Jadi dengan penuh percaya diri aku menyebut diriku wanita yang eksotis, (walaupun pendapat penuh percaya diri ini gak di dukung oleh Mas Har, suamiku yang bersikeras bilang wajahku “ndeso”… tapi toh dulu dia juga yang mati-matian ngejar aku untuk mau jadi istrinya.)

Mangkanya saat dokter menyatakan aku positif hamil. Terselip sedikit rasa cemas di hatiku, takut kalau-kalau anakku nanti akan mirip dengan aku. Tapi Mas Har malah tertawa dengan ikhlasnya, saat kuceritakan tentang hal itu, dia malah bilang kalau aku Ibu yang aneh “Wajar kan kalau anak mirip dengan orangtuanya.. kenapa harus cemas?” . Yah iya juga sih, tapi apa salah kalau sebagai Ibunya aku ingin yang terbaik untuk anakku. Pasti lucu kalau kulit anakku nanti seputih kulit Mas Har, hidungnya pun kuharap mirip suamiku, yah mata dan bibirnya bolehlah mirip aku… Duh Gusti, ampuni hambaMu ini yang suka minta aneh-aneh, yang terpenting aku berharap anakku nanti bisa lahir sehat.

Maka kulalui masa-masa kehamilan dengan banyak-banyak berdoa, rajin-rajin kubaca Surat Yusuf, berharap bayiku nanti seganteng Nabi Yusuf (resep ini aku dapatkan dari Bu Mia tetangga samping rumah). Aku pun minum banyak air kacang hijau agar rambut bayiku nanti bisa hitam dan lebat. Dan tidak hanya itu… aku yang dulunya benci tomat dan anti sama susu akhirnya memutuskan untuk minum jus tomat dan susu kedelai masing-masing dua gelas perhari, hanya karena sebuah artikel di majalah yang kubaca mengatakan bahwa cara ini bisa membuat kulit bayi jadi lebih putih dan cerah. Dan hal lain yang agak gak masuk akal (tapi kulakukan juga demi anakku) aku berusaha membenci Primus, Anjasmara dan Ari Wibowo… gara-gara ada teman arisanku yang bilang, kalau lagi hamil kita benci sesuatu pasti anaknya nanti mirip dengan orang yang kita benci, hihihihi…..

Dan Alhamdulillah, bayiku lahir dengan sempurna. Pertama kali kulihat, aku langsung tau kalau dia bayi terganteng di dunia (walaupun aku juga tau, kalau semua ibu akan melihat bayinya seperti itu). Tapi kemudian, hamper semua orang mengucapkan demikian, kulitnya putih bersih seperti kulit Mas Har, hidungnya pun mancung dengan bibir yang mungil berwarna pink, matanya lebar mirip dengan mataku, dan rambutnya yang ikal kecoklatan (akan kuingat kalau air kacang hijau gak selalu manjur bikin rambut bayi jadi hitam) makin membuat bayiku terlihat seperti bayi yang ada di buku-buku kehamilan yang aku punya, hihihihihi…. Lucu kaya anak bule, sungguh sangat menggemaskan.

Tapi gara-gara itu juga, banyak orang gak percaya kalau Dio anakku. Bahkan pernah ada ibu-ibu di Mall yang dengan semena-mena mengira aku babysitter bayi bule lucu itu. Dan sekali lagi Mas Har cuma ketawa mendengar ceritaku, sambil bilang “Kayanya dulu ada yang pengen supaya gak mirip sama anaknya deh… kok sekarang ngambek ya, pengen dibilang mirip” IIHhhhh… aku jadi gemes sendiri.

Akhirnya aku mulai terbiasa dengan semua itu, dibilang gak mirip, disangka baby sitter nya, bahkan yang terakhir Guru Playgroup Dio dengan gak sopan bilang di hadapanku kalau surat-surat pendaftaran harus langsung ditandatangani oleh orangtua dan tidak boleh diwakilkan. Oh My God!!

Sampai hari itu aku datang sedikit terlambat menjemput anakku, dari kejauhan dia kelihatan asyik mengobrol dengan seorang gadis kecil manis berkepang dua. Aku dekati mereka perlahan sambil mencuri dengar apa yang sedang mereka bicarakan.
“Dio.. kamu belum dijemput juga ya?”
“Iya.. aku nungguin mamaku”
“Eh mamamu kok jelek sih”
“Ga kok, mamaku cantik. Kata siapa jelek?”
“Mamamu kan item, gak putih kaya kamu”
“Biarin aja item, yang penting mamaku baik, aku suka dibuatin nugget, didongengin, mamaku juga mau nemenin aku maen sepeda, kalau mau tidur mamaku selalu masangin aku selimut. Pokoknya mamaku yang paling cantik”
Tiba-tiba air mata sudah menetes di pipiku. (kie)