15 August 2007

BERANTEM ( 1 )

Pernah berantem sama pasangan? Entah itu masih dalam status teman, teman dekat, teman tapi mesra, pacar, apalagi suami… yang namanya beda pendapat, rasanya sangat wajar terjadi. Kata Ibu sih “Yah namanya saja dua orang yang berbeda, latar belakang keluarga beda, jalan pikiran beda… jadi yo wajar toh Nduk kalau sekali-sekali bertengkar…“

Dan Alhamdulillah aku punya partner bertengkar yang seimbang, Bayu suamiku. “Aneh deh, berantem kok malah Alhamdulillah si?”. Lho tapi memang bagus kan kita masih punya teman beda pendapat. Kalau selama ini kita tidak punya teman berantem untuk mendiskusikan pendapat kita yang berbeda, Waspadalah!! Karena itu bisa menjadi pertanda bahwa tidak ada orang yang peduli dengan apa yang kita pikirkan dan lakukan, atau kemungkinan paling buruk kita memang tidak punya teman. Seram gak sih??

Seperti kebanyakan pasangan, beberapa kali kami juga bertengkar. Mulai dari hal yang sepele seperti : lebih enak lewat jalan mana supaya cepat sampai ke pasar, atau yang agak serius : kenapa telfon dan sms nggak dibalas-balas, sampai yang cukup serius : cemburu karena suami masih akrab dengan mantan pacar. Tapi sekali lagi Ibu benar, semakin sering kita komunikasikan pendapat kita yang berbeda dengan pasangan, maka kita akan semakin kenal dengan pasangan.

Jadi jangan pernah berfikir kalau berantem dengan pasangan tidak ada manfaatnya sama sekali. Wah salah besar… Karena justru di saat terjadi beda pendapat ini, kita jadi makin tau sifat-sifat asli pasangan. Waktu kuliah dulu ada teman yang pacarnya kelihatan saba…arrr sekali, eh tapi sekalinya marah, si pacar yang sabar ini tidak segan-segan main tangan… “PLAK..PLAK..” dan itu dilakukan di depan orang banyak. Lain lagi ceritanya dengan seorang sepupu yang punya pacar super romantis, tiap “ngapel” gak lupa bawa bunga, belum lagi hadiah-hadiah lain seperti puisi, coklat dan boneka wah pokoknya benar-benar pacar impian. Tapi saat dia cemburu karena melihat sepupu saya diantar pulang oleh teman kuliahnya, laki-laki super romantis itu langsung marah-marah dan mengeluarkan kata-kata “jahat” yang benar-benar susah dimaafkan seorang wanita. Yah pokoknya kalimat yang jahat banget dan gak pantas gitulah. Karena itu semua saya mengambil kesimpulan, bahwa dari cara seseorang marah, kita bisa lebih mengenal bagaimana kepribadian dia sebenarnya.

Dengan alasan untuk makin saling mengenal itu, maka sudah tidak terhitung berapa kali kami bertengkar dalam empat tahun masa pacaran ditambah tiga tahun usia pernikahan ini. Kalau dulu saya suka pusing kenapa Bayu jadi lebih pendiam saat kami mulai beda pendapat, sekarang saya jadi lebih mengerti bahwa itulah saat dimana ia butuh ruang lebih banyak untuk memikirkan pendapatnya yang berbeda. Katanya sih “Biar gak ada kata yang disesali karena sudah terlanjur diucapkan dengan emosi” (inilah salah satu alasan kenapa aku langsung menerima lamaran untuk menjadi istrinya waktu itu).

Namun sikapnya itu justru berbeda 180 derajat dengan aku, yang justru akan bicara tanpa henti saat tidak setuju dengan sesuatu yang dilakukan ataupun dipikirkannya. Kalau di awal-awal dulu dia akan sibuk memotong kalimat panjangku untuk menyampaikan argumentasinya (dan tentu saja itu semakin membuat aku makin marah dan emosi) kini dia akan diam mendengarkan dan baru bicara setelah aku mulai merajuk, kenapa dia diam saja (cara ini terbukti lebih efektif membuat kami tidak berantem lama-lama).

Tapi mengalami sendiri dan menyaksikan orang lain berantem dengan pasangannya, adalah dua hal yang sangat berbeda. Walaupun bagiku beda pendapat dengan pasangan adalah hal yang wajar, namun saat Nisa bercerita pertengkarannya dengan Dani suaminya, aku jadi orang yang paling panik sedunia.

Nisa adalah sahabat dekatku semenjak SMA. Sampai akhirnya menikah dengan Dani di usia 27 tahun, sudah tak terhitung berapa banyak jumlah mantan pacarnya. Jelas itu bukan hal yang mengherankan, karena Nisa gadis yang cantik dan menarik, satu-satunya kelemahan yang dia miliki adalah sikapnya yang kekanakan dan sedikit manja (namun besar dugaan saya, sikap ini juga yang membuatnya menarik bagi banyak laki-laki). Dari sekian banyak laki-laki yang dikenalnya, Nisa memutuskan untuk menikah dengan Dani, hanya tiga bulan setelah pertemuan pertama mereka. Aku jelas jadi orang yang paling terkejut, tapi katanya Dani adalah soulmate yang dia cari. Aku masih ingat, bagaimana waktu itu aku menggodanya “Uhhh… soulmate apa soulmate sa? Bilang aja tajir, keren, sukses, calon politikus handal lagi”. Memang bukan rahasia lagi, kalau di usianya yang baru 28 thn Dani sudah berhasil menjalankan tiga perusahaan keluarganya, tidak hanya itu, dia juga cukup dikenal sebagai kader muda yang bersinar cerah dari sebuah Partai dengan massa terbanyak di negeri ini. Dan Nisa hanya tertawa gembira menanggapi pertanyaan tadi.

Tapi tawa gembiranya tidak bertahan lama. Baru satu bulan sejak pernikahannya, Nisa mulai sering mengirimkan sms-sms yang mengeluhkan tentang sikap Dani suaminya.

“Wajar gak sih baru satu bulan jadi pengantin baru tapi suami loe sudah dua hari gak pulang ke rumah, ninggalin istrinya kesepian sendirian…”
08/06/2006 23:04 nicha imoets


Pertama kali membacanya aku benar-benar kaget dan panik. Walaupun sudah menjadi tekadku untuk tidak mencanpuri urusan rumah tangga orang lain, sekalipun ia sahabat dekatku sendiri, namun sms Nisa menjelang tengah malam itu benar-benar membuatku susah tidur. Berbagai pikiran buruk menghantui diriku “Gila!! Kemana si Dani? Tega sekali dia ninggalin Nisa dua hari tanpa kabar gitu, dasar laki-laki gak bertanggungjawab” caci makiku dalam hati. Tapi semuanya segera kusesali saat akhirnya aku tau, bahwa Dani memang pergi keluar kota dua hari karena urusan pekerjaannya. Dan yang harus digaris bawahi DANI SUDAH IZIN sama Nisa. Bahkan sebelumnya ia menawarkan Nisa untuk ikut, namun ditolak mentah-mentah karena kota tujuan Dani yang nun jauh di pedalaman Kalimantan “Ih mana ada Mall disana, ngapin juga gue ikut” Enteng saja Nisa bicara alasannya kepadaku, sungguh membuatku gemasss!!!

Bulan-bulan berikutnya sms-sms senada makin sering kuterima. Tapi aku lebih bijaksana menanggapinya, tidak langsung main tuduh seperti saat pertama kali dulu. Yang dikeluhkan Nisa pun makin beragam, mulai dari: kenapa para suami gak punya toleransi (sukanya naruh barang sembarangan padahal rumah baru dibersihkan) hingga kenapa suami gak punya pengertian (istrinya lagi ngidam martabak telor eh kok malah dibelikan martabak manis, pas minta dibelikan lagi suami dengan teganya bilang besok aja). Kadang aku suka tertawa sendiri membacanya, kadang juga jengkel kenapa kok jadi harus ikut mikir masalah yang seharusnya gak perlu ikut nambah pikiran gitu.

Setelah Nisa melahirkan bayi pertamanya, masalah nampaknya menjadi semakin berat. Karena di saat yang sama di Jakarta akan dilangsungkan PILKADA. Sebagai kader yang bersinar tentu saja peran serta Dani sangat dibutuhkan oleh Partainya. Namun di sisi lain, Nisa yang baru tiga bulan melahirkan anak pertama mereka merasa Dani sudah keterlaluan. Walaupun dalam hati kecilku aku sedikit setuju dengan Nisa, tapi Bayu suamiku melarang untuk ikut campur terlalu jauh dalam urusan rumah tangga mereka. Hari demi hari sms yang kuterima dari Nisa makin seram-seram saja isinya

“Aku cape bicara dengan Dani. Aku gak didengerin sama sekali. Bahkan dia sekarang gak mau tidur lagi dikamar kami. Alasannya cape. Masuk akal gak sih Ran?”
30/06/2007 21:01 nicha imoets


Tak kubalas sms Nisa malam itu. Dalam hati aku berusaha berfikir positif. Mungkin benar Dani lelah, kalau tidur di kamar yang sama dengan Nisa dan Zidane, bayi mereka, Dani mungkin harus terbangun berkali-kali di tengah malam karena suara tangisan bayi. Walaupun tetap saja menurutku itu sikap yang seenaknya sendiri “Huuuhh pas mbuatnya aja… semangat. Pas udah lahir gak mau ikut cape ngurusin” omelku dalam hati penuh emosi.

Paginya saat bangun tidur kutemukan ada 18 missed call dan 4 sms yang belum kubaca. Kulihat semuanya dari Nisa. Kuhela nafas panjang... (bersambung)

No comments: