22 August 2007

“WOULD YOU MARRY ME?” (1)

“Ni… desember ini aku mau kawin” Bagai disambar geledek rasanya saat mendengar kalimat itu keluar dari bibir Charlie. Untung saja.. rangkaian kata-kata maut itu kudengar dari balik Nokiaku… seandainya saja dia mengatakannya tepat di hadapanku saat ini, pasti dia akan GR setengah mati melihat reaksiku. Sial… setelah lewat tiga tahun, aku masih saja tidak bisa menghilangkan perasaan ini.

Charlie adalah mantan pacar pertamaku. Kami putus tiga tahun yang lalu. Hampir semua orang yang mengenal kami menyayangkan keputusan itu. Tapi mau bagaimana lagi, permasalahan yang ada diantara aku dan Charlie begitu rumitnya, aku lelah, lalu menyerah… dan kemudian menyesalinya hingga detik ini. Sayang aku terlalu sombong untuk mengakuinya di hadapan Charlie. Sampai kuterima berita maut itu sore tadi.

Iya… Charlie-ku mau kawin empat bulan lagi. Sementara aku, tak pernah menemukan laki-laki lain sejak berakhirnya hubungan kami, atau lebih tepatnya semenjak aku secara sepihak memutuskan hubungan kami. Mama nggak setuju kalau hubunganku dan Charlie jadi semakin serius. Jangan bilang mamaku aneh, mama hanya ‘terlalu’ sayang padaku. Charlie memang selalu sopan dan baik pada keluargaku, tapi harus kuakui Charlie memang bukan pria dengan masa depan cerah seperti yang ada dalam kategori mama.

Aku kenal Charlie di SMU, dia kakak kelasku. Dia sangat terkenal, disegani, bahkan ditakuti oleh sebagian besar murid di SMU-ku. Karena Charlie lebih dikenal sebagai ketua gank preman yang sangar dan kasar di sekolah. Kenyataan ini berbeda 180 derajat dengan aku, yang sejak kecil selalu sakit-sakitan, anak mami yang punya postur tubuh kurus ringkih, hobi pingsan saat upacara, gambaran nyata sebuah sasaran empuk penindasan para preman sekolahan.

Tapi ajaibnya, hidupku selalu aman di sekolah. Konon kabarnya itu semua karena Charlie melarang siapapun menggangguku. Entah kasihan atau memang sejak awal Charlie sudah cinta mati padaku, tapi pada kenyataannya dia memang selalu menjagaku. Dan di suatu siang sepulang sekolah, saat hujan turun dengan deras, dia menemaniku duduk di depan teras sekolah. Dan hari itu menjadi salah satu hari paling bersejarah dalam hidupku, hari dimana aku mulai mengenal cinta.

Aku harus akui, sosok Charlie yang urakan dan apa adanya telah berhasil membuatku jatuh cinta. Aku merasa sangat nyaman saat bercerita dengannya. Tingkah Charlie yang konyol juga sering membuatku tertawa lepas, sesuatu yang sebelumnya jarang aku lakukan. Sepanjang perkenalan kami hingga akhirnya aku resmi menjadi pacar Charlie dua tahun kemudian, dia selalu memperlakukanku dengan sopan dan lembut. Membuatku merasa menjadi perempuan paling beruntung di muka bumi.

Sayangnya tidak demikian menurut mama. Walaupun awalnya mama menerima Charlie dan menyayangi dia apa adanya (yeah right… karena mama merasa punya bodyguard gratis yang setia menjagaku). Tapi setelah hubungan ini menginjak tahun ke empat Mama mulai berulang kali menyatakan keberatannya. Mama bilang, cukuplah sudah hubungan main-main ini, sudah saatnya aku mencari laki-laki yang memiliki masa depan lebih baik. Dan aku mengerti benar maksud mama.

Charlie memang tidak pernah menyelesaikan kuliahnya seperti aku. Tapi kurasa itu bukan keputusan yang salah. Mama pun dulu tidak menyelesaikan kuliahnya karena keburu diajak kawin oleh papa, dan tak punya waktu untuk meneruskannya lagi. Namun kalau mama terpaksa melakukan itu, Charlie justru dengan sukarela memutuskan berhenti kuliah (keputusan yang akhirnya membuat nilai Charlie turun drastic dimata mama). Alasannya sederhana, kalau tanpa kuliah sudah bisa punya penghasilan buat apa cape-cape buang tenaga dan duit untuk kuliah. Kurasa benar juga, toh tujuan akhir sekolah tinggi-tinggi agar bisa punya pekerjaan berpenghasilan tinggi. Sayang Mama tidak berpikir sama denganku.

Papa yang awalnya hanya diam tak pernah berkomentar melihat hubunganku dan Charlie, juga ikut mengeluarkan sebuah statement yang membuatku semakin ragu untuk meneruskan hubungan ini “Sekolah S1 bukan cuma sekedar buat dapet kerja bagus Diani, tapi lebih kepada cara berfikir, menyelesaikan masalah. Suatu saat nanti, kamu pasti bosan dengan laki-laki yang bicaranya tidak lagi nyambung sama kamu” AKu tak pernah tahu apakah suatu saat aku akan bosan dengan laki-laki penuh kejutan seperti Charlie, tapi apa yang Papa bilang memang ada benarnya.

Lalu tanpa angin dan tanpa badai, kuputuskan untuk menyudahi hubungan itu. Yah begitu saja… tanpa pernah kusampaikan alasannya panjang lebar kepada Charlie. Kata Ruly sahabatku, aku Ratu Tega yang tidak berprikemanusiaan dan berprikeadilan, aku cuma tertawa menanggapi kata-katanya yang bagai penggalan Pancasila. Tapi saat sedang sendiri, aku tak henti-hentinya menangisi keputusan itu.,membuat mataku bagai ikan mas koki.

Dan tahukah apa yang membuatku menangis? Bukan… bukan karena aku menyesali keputusan itu, terus terang aku sudah memikirkannya matang-matang. Aku hanya tak mengira, Charlie bisa menerima keputusanku dengan ikhlas. Benar-benar I-K-H-L-A-S ! bahkan dia tak pernah menanyakan alasannya. Malam itu dia hanya menatapku dalam diam, menggenggam tanganku lama, mengakhirinya dengan mengecup keningku, lalu pergi. Begitu saja, tanpa banyak kata-kata.

Lalu aku pun memulai episode kehidupanku yang sepi. Dua bulan sekali, Charlie menelfon untuk sekedar menanyakan kabarku. Aku sendiri tak pernah berusaha menghubunginya… via telfon, Tapi jangan ditanya bagaimana giatnya aku mencari informasi semua hal tentang dia. Dari pura-pura beli permen di warung rokok langganan Charlie, demi mendapatkan hot gossip dari Mang Ujang yang memang salah satu sahabat karibnya. Mengerahkan Ruly sebagai mata-mata untuk mencari info dari mantan teman kuliah Charlie, sampai sengaja duduk berjam-jam di Café langganan Charlie sambil berdoa dalam hati semoga bisa bertemu Charlie tak sengaja.

Hasilnya tak mengecewakan. Walaupun aku jarang berbicara langsung dengannya, aku tau… dia sukses menjalankan Kios HPnya, bahkan dari Mang Ujang kudengar kabar dia akan membuka cabang di sebuah Mall baru di tengah kota. Tidak hanya itu, Charlie juga mulai menjalankan bisnis Event Organizer sekaligus persewaan alat-alat pesta. Laki-laki lulusan SMA itu bahkan menjadi donatur tetap sebuah Yayasan Sosial dan sudah mulai mencicil rumah dari penghasilannya sendiri.(Sesuatu yang pasti membuat nilai Charlie naik drastic di mata mama)

Sementara aku, yang lulusan S1 dengan predikat Cum Laude dari sebuah perguruan Tinggi Negeri, kini harus berpuas diri dengan gaji yang ‘pas’ dari sebuah Perusahaan Asing terkemuka di Negeri ini. Dan yang harus digaris bawahi, pria lulusan SMA itu akan kawin empat bulan lagi. Sementara aku.. masih terus hidup dalam kenangan-kenangan sialan ini.

Kuhela nafas panjang. Rasanya percakapan ditelfon sore tadi masih terus terngiang di telingaku.
“Ni.. desember ini aku mau kawin”
“Oh ya…” Tanyaku sambil berusaha menyembunyikan rasa kaget dan tak percaya.
“Iya… aku sudah cape sendiri” Dia mengucapkannya begitu tenang tanpa perasaan bersalah (kalau kalimat itu akan menyakitiku yang masih bertahan terus sendiri)
“Apa nggak terlalu cepat?” Tanyaku begitu saja tanpa kendali
“Hehehe… kamu lucu deh. Apa lagi yang aku cari Ni… aku sudah punya penghasilan, aku juga mulai nyicil rumah, nggak besar sih tapi lumayan buat keluarga kecilku nanti”
“Oh…”
“Kamu nanti bisa datang kan ni?”
“Iya aku usahakan… lagian masih desember juga kan?”
“Aku mau kamu datang Ni?”. Sial, kenapa dia begitu ingin aku datang? Mau pamer kalau dia sekarang jauh lebih bahagia dari pada aku. Gerghghh! Aku benar-benar tak dapat mengendalikan rasa iri dihatiku.
“Iya… pasti aku usahakan. Eh sudah dulu ya… aku masih ada kerjaan”
“Boleh hari minggu aku datang ke rumahmu?”
“Buat apa? Masa udah mau ngirim undangan sekarang sih?”
“Ya enggaklah… aku pengen ketemu kamu Ni. Aku kangen” Huuuuh dasar laki-laki buaya darat. Sudah mau kawin masih sempat-sempatnya bilang kangen-kangen sama mantan pacar.
“Jangan ah… aku nggak enak sama calon istri kamu”
“Kamu nggak pernah kangen aku Ni?” Ya jelas kangen bego!! Rasanya aku ingin berteriak keras-keras di telinganya. Tapi mana mungkin kulakukan hal itu.
“Eh sudah dulu ya… aku benar-benar sibuk!” Segera kuputuskan sambungan telfon tanpa mendengar kalimatnya lebih lanjut (sebenarnya karena aku tak ingin dia mendengar suara tangisku lebih lanjut). (bersambung)

1 comment:

Riski Hapsari said...

kalau kenal banget sama aku pasti tau deh... kalau sebagian besar cerita ini terinspirasi dari pengalaman hidup seseorang, hihihi...