13 August 2007

KETIKA CINTA DATANG

Umurku 27. Rasanya angka yang masih jauh dari kata perawan tua yang terlambat menikah. Toh Bu Diah, Bosku, masih sering kulihat gonta-ganti pasangan di usianya yang hampir 40. Sayangnya tidak demikian menurut Ibuku.

Setiap saat Ibu tidak bosan-bosannya menyuruhku segera menikah, macam-macam saja alasannya. Dari yang halu dan bernada menyindir “Si Rasti anak tetangga kita yang baru 19 tahun itu sudah punya bayi lho, duh lucu tenan Nduk.. Ibumu ini juga sudah gak sabar pengen cepet-cepet punya cucu juga. Kamu kapan toh arep nyusul?” Sampai yang diucapkan dengan nada perintah yang tegas “Tahun ini kamu harus sudah kawin lho Muthi, jangan kerja aja yang kamu pikirin. Inget lho perempuan itu makin tua makin susah punya anak. Kalau sudah gitu nanti.... bla..bla..bla...”. Dan karena aku hanya tinggal berdua dengan Ibu, pesan sponsor itu menjadi begitu seringnya aku dengar.

Seandainya saja ada Bapak, tentu Ibu tidak akan sesibuk ini “ngurusin” aku. Paling tidak akan ada orang lain yang mendapatkan curahan perhatian dan kasih sayang Ibu yang tidak ada habisnya itu. Sayang Bapak gak ada. Dan Ibu tidak pernah mau menceritakan sedikitpun tentang keberadaan laki-laki itu. Jangankan cerita, baru kutanya sedikit saja tentang Bapak, Ibu sudah terlihat sangat marah dan sedih. Biasanya setelah itu aku akan melihat Ibu menangis sendirian di sudut dapur, terlihat begitu rapuh dan lemah.

Mangkanya aku pun berhenti menanyakan tentang Bapak pada Ibu. Jangankan tau cerita aselinya dari Ibu, foto laki-laki itu tak ada satu pun yang aku tau. Dari Tante Lies, sepupu Ibu di Yogya aku sedikit tau cerita bahwa Bapak pergi meninggalkan Ibu di saat usiaku belum genap tiga tahun. Bapak adalah mahasiswa dari Surabaya yang ngekost di rumah Eyang di Yogya. Ibu yang anak tertua dipercaya untuk mengurus kost-kost an itu. Dan mereka jatuh cinta (yah kurasa pasti ada cinta yang sangat menggebu-gebu diantara mereka saat itu, karena aku lahir di saat usia pernikahan mereka baru menginjak bulan ke empat).

Kata Tante Lies, saat itu Eyang Kakung sangat malu dan mengusir Ibu. Bapak yang mahasiswa baru akhirnya putus kuliah dan mmbawa ibu pindah ke Jakarta. Namun meninggalkan kami begitu saja tiga tahun kemudian. Yah peduli setan dengan cerita itu, bagiku sosok Bapakk sudah lama mati, walaupun harus kuakui kadang aku merasa begitu merindukan kehadirannya. Aku ingat saat di SD dulu aku pernah mogok sekolah karena ingin diantar Bapak seperti Suci temanku. Ibu marah besar waktu itu. Walaupun aku tidak ingat benar bagaimana sosoknya, aku ingat... dulu Bapak suka menggendong dan mengajakku berdansa. Entahlah... tapi rasanya ingatan itu melekat begitu eratnya di kepala.

Jadi jangan heran kalau sekarang aku begitu sukanya berdansa, di banding clubbing dengan musik yang menurutku hanya bikin sakit kepala. Aku lebih suka menghabiskan waktuku dengan teman-teman di klub dansa. Dan tentu saja, Waltz is my favourite. Kedengarannya memang kurang asik, apalagi mengingat penampilanku yang lebih cocok menjadi penari salsa. Tapi menurutku akan sangat romantis berdansa Waltz dengan orang yang kita cintai.

Yah sayangnya amat jarang sekali pria zaman sekarang yang bisa Waltz. Ada sih beberapa, tapi biasanya kalau dia bisa waltz ada saja kriteria lainnya yang kurang dimataku, yang kurang tinggi lah, gak seiman (ini syarat utama dari Ibuku), obrolannya membosankan atau bau badannya menyengat mengerikan. Tapi kebanyakan sih karena rata-rata mereka kurang punya kepribadian. Yeah Yo’re Right, mobil pribadi, rumah pribadi, deposito pribadi bahkan kalau perlu pesawat Jet pribadi.

Kedengaran materialistis? Ya iyalah, omong kosong kalau orang bilang bisa hidup cukup dengan cinta. Ibuku adalah contoh nyatanya. Prinsipku Cinta datang setelah perut kenyang. Dan buat perempuan seperti aku, dengan ehem... gaji 7 digit, rasanya gak cukup dengan sekedar perut yang kenyang. Aku perlu pakaian yang pantas, serta Tas dan sepatu yang matching. Perawatan tubuh juga sampai saat ini aku lakukan dengan rutin di sebuah salon terkemuka di pusat kota. Belum lagi urusan gadget yang akan mempermudah kehidupan. Mungkin itu juga alasan kenapa sampai saat ini aku belum juga menemukan pria yang tepat.

Bukannya gak ada yang naksir aku lho, paling tidak dalam tiga bulan terakhir ini aku kencan dengan empat pria yang berbeda, walaupun rasanya semua memiliki kekurangan di mataku. Yah sebenarnya gak semuanya sih, ada satu yang menurutku cukup menarik. Wisnuaji. Tampan, cerdas, berpenghasilan menggiurkan dengan gaji yang menjanjikan, dan hm... seksi, oh iya dia juga seiman (seperti pesan ibu). Sayangnya... (oh kenapa kata ini sellau muncul setiap aku mengenal pria baru) Dia duda (itu juga pengakuannya ke aku, jadi harus dibuktikan lagi setelah aku lihat KTP nya) dan umurnya 50 tahun. Selisih 23 tahun dengan umurku. Memang sih di TV saat ini banyak artis yang menikah dengan selisih umur segitu, tapi aku kan bukan artis. Aku juga gak tau apa pendapat ibu tentang ini. Tapi toh aku hanya pergi tiga kali dengannya, walaupun kami memang sering telfon-telfonan dan bertukar email setiap hari, tapi itu kan bukan berarti dia akan datang melamarku.

Tapi waktu bisa merubah banyak hal. Diantara mereka yang datang dan pergi dalam kehidupanku. Wisnuaji setia menemaniku. Aku jatuh cinta padanya, terutama karena dia bisa berdansa. Bukan Waltz memang, tapi rasanya dia begitu luwes melakukannya. Aku merasa sangat nyaman berada di dalam pelukannya. Mungkin aku yang terbawa suasana kota Bali (saat itu aku dikirim untuk mengikuti seminar oleh kantorku, dan dia memutuskan untuk menyusul ke Bali agar bisa menghabiskan weekend bersamaku). Karena malam itu hujan, kami pun memutuskan untuk makan malam di hotel. Dia memesan lagu Beatifull Girl dan memintakku berdansa dengannya. Dia memelukku begitu hangat. Tangannya yang kokoh membuatku merasa begitu tentram berada dalam pelukannya... hingga hari berganti. Yah... akhirnya malam itu kami lewatkan bersam di kamar hotelku yang berbeda dua lantai dari kamarnya, diatas ranjang yang sama, tanpa sehelai busana. Kami lewatkan malam dingin itu dengan penuh kehangatan. Itu pertama kalinya untukku, dia memperlakukanku begitu lembut. Herannya aku sama sekali tidak merasa menyesal, dan bahkan melakukannya lagi sebelum kami sama-sama mandi pagi. Dan bagaikan kecanduan kami melakukannya berulang-ulang kali selama satu minggu kemudian (Akhirnya kami berdua memutuskan untuk cuti dan berlibur bersama di Bali. Dan entah sudah berapa kali sejak kami kembali ke Jakarta.

Hingga malam itu, Wisnuaji melamarku. Dan bagaikan dalam sinetron-sinetron di TV, air mataku menetes dengan tiba-tiba, merasa terharu karena sebentar lagi aku mungkin akan berhasil membahagiakan Ibu. Maka kususunlah acara makan siang bersama di rumah untuk memperkenalkan calon menantu ibu.
“Aduh Muthi ibu penasaran sama pacarmu itu” Untuk kesekian kali sungguh bahagia rasanya melihat wajah ibu sesumringah itu.
“Yah nanti Ibu liaht sendiri aja”
“Lagian kamu itu Nduk..Nduk.. kok ya pake rahasia-rahasia segala sama Ibu, tau-tau langsung minta izin mau kawin”
“daripada sudah dikenal-kenalin kemana-mana tapi gak kawin-kawin nanti ibu malah tambah kepikiran kan... kaya siapa itu tetangga yang pernah ibu ceritain sama Muthi”
“Iya ya... kamu ini memang paling bisa aja Muthi”
“Anaknya siapa dulu donk Bu”
“Ibu sayang sekali sama kamu Nak, semoga laki-laki ini nantinya bisa membahagiakan kamu, lahir bathin. Gak seperti dia....” Tiba-tiba suara ibu terdengar makin lirih, Ibu pasti ingat Bapak lagi.
“Ah sudah donk Bu nggak pake acara sedih-sedih segala ah. Ibu doain Muthi aja ya... Muthi Cuma pengen lihat Ibu bahagia” Kupeluk ibu dengan erat, dalam hati terselip doa semoga Ibu suka dengan Wisnuaji, dan nggak mempermasalahkan usia dan statusnya yang duda. Tiba-tiba bel rumah berbunyi.
“Itu pasti pacarmu Muthi, buruan buka pintu.. biar Ibu Toto Dahar dulu”
“Sip Bu” Setengah berlari kubuka pintu rumah dnegan bersemangat. Oh Wisnu terlihat gagah dan lebih muda dengan kemeja birunya. Gaya dan wajahnya sama sekali tidak menampakkan usianya yang sudah 50. Dan kalau laki-laki berumur 50 memang sehebat itu di tempat tidur, rasanya usia bukanlah faktor penghalang kami untuk menikah.
“Hai... kamu keliatan ganteng sekali” Kucium pipinya dengan mesra
“Makasi Sayang.. kamu terlihat tambah seksi pakai celemek gitu” bisiknya mesra sambil tersenyum nakal.
“Hayuuu... mulai deh, Yuk ku kenalin sama Ibu.. nanti kamu kasihkan sendiri aja jeruk sama bunganya”
“OK Manis..” Bergegas kutarik lengannya menuju ruang makan sederhana di rumah kami
“Ibu... kenalin donk ini calon menantu Ibu”
“Selamat Si...” Tiba-tiba Wisnu menghentikan kalimatnya. Matanya menatap ibu dengan sangat terkejut, jeruk dan bunga di tangannya terlepas begitu saja. “Ra...tih” Kutatap ibu dengan penuh tanda tanya, kenal dimana dua orang ini, kenapa Wisnu bisa tau nama gadis ibu padahal aku belum pernah menceritakannya sama sekali. Dan kalimat yang keluar dari bibir Ibu sungguh tak dapat kupercaya “Keluar dari rumah ini bajingan!!!”
“Ibu kenapa kasar begitu?” Kuikuti ibu yang berlari menuju kamarnya. Aku butuh jawaban. Penjelasan atas sikap Ibu. Ibu masih terus menangis.
“Ibu sudah kenal Wisnu?” tanyaku perlahan, dan jawaban Ibu membuat lututku lemas “Batalkan rencana perkawinanmu itu Nduk... dia Bapakmu”
OH MY GOD... aku tak tau harus berkata apa, terutama karena di saku bajuku terdapat amplop putih berisi hasil test pack ku pagi ini. Aku hamil. Dan sama seperti Aku, bayi ini anak Wisnu. (kie)

3 comments:

Unknown said...

heuheu cerita akhirnya kok jadi aneh ya.....
si ibu jadi ketemu ama suaminya..

Winna Efendi said...

Ada efek surprise-nya yang seru. Cerpen kayak gini disukai di K.com, Kie :)

Koleksikikie said...

winna... gue baru tau lu mampir setelah ganti tahun hihihi... blog mati nih win, gue buat pas lagi ikut sekolah nulis... lulus dari sekolah nulis, ya udah nggak di up date sama sekali hihihihihi