27 September 2007

SULASTRI (2)

cerita sebelumnya : Sulastri gadis aseli tegal merantau ke Jakarta. Walupun awalnya emak melarang karena takut sulastri hamil seperti Marni kakaknya, akhirnya emak merstui perjalanan sulastri karena kebutuhan akan uang. Namun sbeelum berangkat Sulastri berjanji untuk berhati-hati pada lelaki.

Rumahnya kecil dan sederhana, waktu kulihat tamanya yang rapi dan terawat, aku langsung tau aku akan kerasan di rumah itu. Kata Mang Karta, pemiliknya adalah sepasang pengantin baru, tapi tidak seperti yang kubayangkan Sang suami terlihat sangat tua untuk istrinya yang mungkin masih berumur sekitar 20 thn, tubuhnyamungil, rambutnya hitam, wajahnya halus, terlihat makin cantik dengan senyumnya yang ramah. Dia menolak kupanggil Ibu dan memintaku memanggilnya NONIK. Sementara ia memanggilku dengan nama Asti, katanya biar lebih keren.. yah kurasa aku menyukai nama Asti, tidak terdengar terlalu ndeso di telingaku.

Dan untuk pertama kalinya aku merasa bahagia bekerja di Jakarta. Mbak Nonik sungguh majikan yang sangat baik. Di sela-sela pekerjaanku, aku masih punya cukup waktu untuk tidur siang dan melihat sinetron-sinetron di televise. Kadang-kadang bahkan Mbak Nonik mengajakku ikut menemaninya berbelanja di Supermarket dan Mall, bagian dari Kota Jakarta yang baru aku kenali setelah sekian lama hanya melihatnya dari televisi. Aku seringkali merasa kasihan melihat majikanku yang cantik ini, tak jarang kulihat diaduduk melamun, walaupun matanya yang bulat hitam melihat kea rah TV, tapi aku rasa dia sedang sibuk memikirkan laki-laki yang menjadi suaminya. Bapak jarang pulang. “Tugas ke luar kota ti..” begitu kata Mbak Nonik kepadaku. Tapi dari Timah pembantu sebelah rumah, aku tahu ada istri selain Mbak Nonik yang harus Bapak kunjungi. Tapi sudahlah toh itu bukan urusanku.

Malam itu hujan turun deras sekali, kulihat di TV beberapa bagian kota Jakarta terendam banjir. Untunglah daerah di komplek rumah yang kutempati tetap aman dari bahaya itu. Tapi rumah kami terkena dampak pemadaman listrik. Mbak Nonik pun memintaku untuk menemaninya tidur, katanya dia takut kegelapan. Aku langsung setuju menerima tawaran itu, karema aku pun takut mendengar suara petir yang terus menggelegar. Tapi aku bingung harus bagaimana saat dia memintaku untuk tidur di sampingnya
“Sudah Asti gak usah pakai tikar segala, dingin. Tidur sama saya aja di sini”
Hm… kasur itu terlihat sangat menggoda, tapi mana pantas aku tidur disana.
“Sudah gak usah mikir-mikir lagi” Tiba-tiba saja Mbak Nonik sudah menarik tanganku. Rasanya tak kuasa aku menolak keinginan perempuan cantik itu, bahkan di antara gelap malam itu aku masih dapat mengagumi kecantikan perempuan itu di balik baju tidurnya yang mini.
“Dingin ya Ti?” Tiba-tiba aku dikagetkan dengan suaranya, ah aku sudah melamun.
“Enggak.. wah mbak Nonik cantik deh” pujiku tulus
“Ah.. kamu ini bias aja deh bikin aku seneng” Ucapnya bahagia sambil memelukku. Belum pernah aku merasakan kulit sehalus ini.
“Kulit Mbak Nonik juga halus sekali..” bisikku tertahan.
“Masa sih ti… suamiku aja gak pernah bilang begitu lho” Ucapnya sedih
“Aduh maaf ya Mbak kalau saja jadi bikin Mbak sedih”
“Gak ko ti… udah ah, yuk kita tidur”
“Iya Mbak..” Lalu kurebahkan tubuhku di kasur yang empuk itu. Seingatku tadi, kasur ini sangat lebar.. tapi entah kenapa Mbak Nonik tidur begitu rapatnya dengan tubuhku. Ah mungkin dia takut… wah lucu sekali, seperti keponakanku saja. Kubelai rambutnya yang wangi.
“Asti..” dan detik berikutnya, untuk pertama kali dalam hidupku, seseorang mencium bibirku. Rasanya lembut sekali. Aku langsung teringat pada Emak. Ingat pesan-pesannya, untuk hati-hati sama laki-laki yang kurang ajar… ah tapi kan Mbak Nonik perempuan dan mencium perempuan kan bukan hal yang kurang ajar. Lagian toh aku nggak mungkin hamil seperti Mbak Marni hanya karena ini. Jadi aku pun diam saja saat tangan-tangan lentik Mbak Nonik melepaskan kait kutang murahanku. (kie)

23 September 2007

SULASTRI

Namaku Sulastri. Asli dari Tegal. Mungkin karena dari ndeso itu namaku diawali “su..” seperti juga nama empat saudaraku yang lain. Kakakku yang paling tua namanya Sumarni, lalu yang kedua Sutowo. Sayang Mas Towo umurnya gak panjang, seingatku (aku juga agak lupa karena waktu itu masih kecil) Mas Towo mencret-mencret hebat. Bapak yang buruh tani dan Emak yang kerja serabutan, tidak punya cukup uang untuk membawa Mas Towo ke Puskesmas, dan akhirnya Mas Towo pun meninggal. Adikku ada dua, Suhartini dan yang paling kecil bernama Subagyo.

Biar gampang biasanya aku memperkenalkan diri dengan nama Lastri. Sebenarnya aku suka nama Sulastri, tapi waksu sekolah dulu, teman-teman suka menggoda dengan memanggilku “Sul..Sul..” Dan aku tau, itu pasti bukan hanya karena namaku yang Sul..Lastri, tapi juga karena di kakiku ada banyak bisul. Mangkanya aku hanya sekolah sampai kelas 4 SD, aku bosan dipanggil “sul..” si bisul. Tapi alasan yang utama karena aku tau, Bapak dan Emak mulai kesulitan mencari uang untuk biaya sekolah, dan aku rasa sudah waktunya Tini (yang sudah 8 tahun) untuk mulai sekolah. Toh aku sudah bisa baca tulis, serta yang paling penting ngitung duit.

Karena hidupku sejak kecil sulit, aku tau kalau punya duit adalah hal yang amat sangat penting. Dan Emak selalu mengajarkan kepada kami untuk bekerja yang halal, karena hanya rezeki yang halal yang akan membawa manfaat. Tapi sayangnya, di desaku tidak banyak pekerjaan halal yang bias dapat duit banyak. Mangkanya dari dulu aku kepengen bias kerja di Jakarta. Teman-teman ku yang pulang dari Jakarta selalu jadi kelihatan lebih cantik, punya baju yang bagus-bagus, punya lipstick warna-warni, dan aku tau itu semua pasti butuh duit yang tidak sedikit.

Tapi Emak melarang niatku. Bukan karena Emak gak mau duit banyak, tapi Emak takut nasibku akan seperti Mbak Marni, hamil tanpa suami. Emak memang tidak marah seperti Bapak, tapi aku tau Emak kecewa. Matanya yang bilang begitu. Dan sejak kejadian itu, Emak seperti tidak bosan-bosannya menasehati aku untuk berhati-hati dnegan semua jenis laki-laki, baik yang kelihatan sopan dan alim, apalagi yang terang-terangan kurang ajar. Waktu anak Mbak Marni lahir, ekonomi keluarga kami jadi semakin sulit. Makin sedikit lahan persawahan yang bias digarap Bapak, Emak juga sudah semakin tua. Aku tidak bisa tinggal diam. Akhirnya walau dengan berat hati, Emak dan Bapak mengizinkanku pergi ke Jakarta.

Warung Tegal di daerah Gajah Mada adalah tempat kerja pertamaku di Jakarta. Sebenenarnya pemilik warung itu sangat ramah, seorang Janda berusia 40 thn. Hanya saja aku tak tahan dnegan tatapan-tatapan kurang ajar beberapa pengunjung. Bahkan pernah, salah satunya meremas dadaku dengan alas an mengusir lalat. Tidak sampai emapt bulan aku pun minta berhenti. Kebetulan saat itu Tatik teman kerjaku yang lebih dulu keluar dari warung itu, menawariku pekerjaan sebagai pembantu untuk sebuah rumah mewah di dekat tempatnya bekerja. Aku pun setuju.

Pemilik rumah tempatku bekerja adalah sepasang suami istri yang snagat sibuk. Berangkat pagi-pagi sekali, pulangnya baru tengah malam. Sehari-hari di rumah hanya ada Mas Ruben, anak mereka satu-satunya yang masih duduk di bangku SMU. Kadang-kadang Mas Ruben pulang bersama teman-teman sekolahnya. Harus kuakui, sebagian dari mereka tampan dan gagah, jauh berbeda dengan pemuda-pemuda yang ada di desaku dulu. Sayang sikapnya sering kali kurang ajar. Kalau hanya kata-kata iseng aku bias memaklumi, namun pernah kutemukan mereka sedang mengintipku saat mandi. Lalu aku minta keluar. Waktu itu aku belum genap 2 bulan bekerja, dan pemilik rumah hanya bersedia membayar gajiku untuk bulan pertama. Tak apalah, ditambah duit saat bekerja di warung jumlahnya sudah lumayan untuk pulang kampung. Tapi aku belum ingin pulang….

Beruntung ada Mang Karta, tukang ojek yang katanya membutuhkan pembantu untuk menemani istrinya yang sedang hamil tua. Aku bersedia, walaupun gajinya sangat kecil. Tak apalah.. yang penting aku masih bias bekerja di Jakarta. Tapi sepertinya aku masih kurang beruntung, istri Mang Karta orang yang sangat pencemburu. Menurutnya Mang Karta menyukaiku, padahal tak sekalipun Mang Kartabersikap tak sopan ataupun kurang ajar. Tapi aku teringat pesan Emak, untuk tidak mudah percaya dengan laki-laki. Untuk yang kesekian kali, aku putuskan untuk keluar. Namun Mang Karta menahanku, dia berjanji untuk mencarikan pekerjaan yang baik untukku, yang mau mempekerjakanku dengan gaji yang layak. Entah kenapa aku percaya Mang Karta, maka kuikuti kata-katanya. Dan sampailah aku di rumah itu.(bersambung)

13 September 2007

KETIKA BAPAK DATANG

Akhirnya... inilah episode terakhir serial I Marisha Mama Gaul, pengen tau kisah lengkapnya, silahkan baca 6 episode sebelumnya... buat yang penasaran bagaimana ending serial ini, Selamat membaca

Sabtu pagi. Hari ini Bapak akan datang, karena besok Nara akan merayakan ulangtahunnya yang pertama. Aku sendiri sudah berhasil menurunkan beratku hingga 53 kg.. sebuah usaha yang kulakukan dengan sepenuh jiwa. Bukan hanya untuk suami, ataupun anakku, tapi juga buat diriku sendiri, agar jadi lebih sehat dan gaya. Iya… tak kupungkiri aku suka tampil lebih cantik seperti ini.

“Sha.. aku jemput Bapak dulu ya di Gambir, kamu di rumah aja sama Nara”
“Iya Mas… lagian aku belum selesai masak”
“Ya sudah aku berangkat dulu ya” Lalu Mas Abi pun pergi setelah mengecup pipiku.
“Hti-hati ya mas…” Kulambaikan tangan melepaskan kepergian Mas Abi dibalik kemudi CRV nya.


Stasiun Gambir 08.20
“Bapak….” Abi menghampiri dan mencium tangan laki-laki berumur yang baru saja turun dari kereta api.
“Abi… gimana kabarmu Nak” Bapak tampak gembira telah berhasil menemukan menantunya.
“Alhamdulillah baik pak…”
“Nara dan Marisha gimana?”
“Nara sehat Pak… sekarang sudah bisa jalan, dan Marisha berkat saran Bapak.. dia sudah mulai kembali seperti dulu”
“Maksudmu gimana tho Bi”
“Bapak ingat waktu saya dulu cerita… saya cemas melihat Marisha yang jadi lebih apatis dan cuek pada dirinya setelah melahirkan Nara”
“Oh ya..ya… waktu kamu dulu jemput Marisha sama Nara dari Batu buat pindah ke Jakarta itu, Bapak sendiri juga merasakan hal yang sama Bi?”
“Iya pak… kata Bapak perubahan itu kan hanya bisa terjadi kalau ada niat dari diri Marisha sendiri”
“Iya Bapak masih ingat itu..”
“Dan Bapak juga bilang… Niat itu harus dibangunkan dengan rangsangan yang tepat, supaya mengena dan menyadarkan orang dari comfort zone nya”
“Tepat sekali itu Bi…”
”Dan menurut Bapak… pandangan negative orang lah yang paling ditakuti Marisha, yang akan membuatnya terbangun dari comfort zone itu”
“Lalu..lalu… ah kamu ini memang pandai membuat Bapak penasaran”
“Bagaimana kalau kita istirahat sebentar di Coffeshop itu Pak”
“Wah ide bagus itu Bi… Bapak perlu ngopi dulu sebelum ketemu Marisha. Istrimu itu selalu saja melarang Bapak minum kopi…”
“Hahaha… itu kan demi kebaikan Bapak, supaya Bapak lebih sehat”
“Iya… iya.. kamu jangan ikut-ikutan istrimu juga”
Lalu kedua laki-laki itu duduk di salah satu meja yang ada di Gambir CoffeShop. Sambil menikmati secangkir kopi dan resoles yang masih hangat keduanya melanjutkan cerita mereka tadi.
“Lalu gimana ceritamu tadi…”
“Setelah kami sampai di Jakarta, saya terus memikirkan kata-kata Bapak. Mencari cara yang tepat agar Marisha dapat lepas dari comfort zone nya… dan saya menemukan ide gila pak” Cerita Abi dengan gayanya yang tenang.
“Maksudmu…”
“Saya membayar tiga orang khusus untuk menjalankan misi saya itu pak, istri salah satu anak buah saya di Kantor, yang bernama Lisa… lalu Pak Barata, Satpam komplek dan Bu Maemunah yang juga istri Pak Barata yang satpam itu”
“Buat apa kamu bayar orang-orang itu Bi?” Bapak masih juga tak mengerti kemana alur pembicaraan Abi
“Buat membangunkan Marisha dari comfort zone nya Pak… saya suruh mereka untuk membuat negative perception atas Marisha, menganggap Marisha pembantu saya bukannya istri saya pak..”
“Hah… kamu ini ada-ada saja”
“Tapi cara itu berhasil lho pak, apalagi setelah kehadiran sahabat kecil Marisha si Diandra… Bapak masih inget toh?”
“Oh teman Marisha di acara putrid-putrian itu…”
“Iya Pak… setelah melihat penampilan Marisha, Diandra mati-matian menyuruh Marisha berubah… setelah mengalami tiga peristiwa sebelumnya, hal ini makin menguatkan tekad Marisha untuk berubah” Kini Abi tersenyum puas karena rencananya telah berhasil dilaksanakan.
“Hahaha… kamu sama Marisha memang cocok Bi, sama-sama gendheng* sudah ayo kita sekarang pulang… Bapak kangen lihat anak manja itu, tapi Bapak lebih kangen sama cucuku…” Lalu laki-laki tua itu berdiri, sambil masih mengulum senyum dan geleng-geleng kepala mengingat kisah gila dari menantunya. Abi pun bergegas mengikuti langkah Bapak sambil sibuk menarik koper dan mengangkat dus oleh-oleh. Hari ini terasa begitu indah untuknya. (TAMAT/kie)

12 September 2007

REVOLUSI MARISHA

ciaa... akhirnya sampai juga di episode ke enam, tinggal satu episode lagi lho sebelum akhirnya kisah Marisha si Mama Gaul seri pertama ini tamat... nah biar bacanya lebih lega, jangan lupa 4 episode sebelumnya dihapal dulu... hihihi, emang mau ulangan... hahaha masih musim ya ulangan. Oke selamat membaca ya...

Maka keesokan harinya dimulailah penyusunan Rencana Anggaran Pembelanjaan untuk mensukseskan program perubahan besar-besaran yang akan kualami. Kususun daftar barang-barang yang kubutuhkan untuk mensukseskan rencana ini. Dan sabuk bergetar yang dapat menguruskan pinggang agar seramping Artika Sari Devi adalah Must have item.

Diandra dengan sigap mendaftarkanku pada sebuah Catering khusus Diet. Konon kabarnya pemilik catering ini adalah salah satu laki-laki pemuja Diandra, aku sih hepi-hepi saja itu artinya aku tak perlu repot-repot menghitung kalori makanan yang masuk ke tubuhku. Terutama setelah Romi, kawanku yang dokter gizi menyatakan bahwa menu ini cukup sehat bagi aku Ibu yang sedang menyusui.

Tak hanya catering sehat. Dua hari kemudian Diandra mengirimkan hadiah yang sangat berarti untukku. Namanya Mbak Atun, wanita setengah baya asal Tegal yang terlihat ramah dan bersedia menjadi asisten rumah tanggaku. Berkat kehadiaran Mbak Atun aku jadi punya waktu lebih banyak untuk mengikuti gerakan Senam Body Language ala Berty Tilarso melalui DVD yang ada di rumah. Sekali-sekali aku juga mengikuti gerakan-gerakan sederhana Yoga, tapi itu lebih banyak kulakukan saat Diandra sengaja datang ke rumah untuk menjadi instrukturku.

Nara juga nampaknya sangat mengerti usaha mamanya, setiap kali aku senam dia tidur dengan nyenyak. Kalaupun bangun dia biasanya dia akan duduk melihatku sambil bertepuk tangan, sungguh lucu sekali. Mas Abi juga tidak kalah hebat dalam mendukungku, setiap hari sabtu dia sengaja menawarkan diri untuk menjaga Nara dan menyuruhku pergi ke salon yang direkomendasikan Bu Laksmi, Salah satu salon terbaik dengan pelayanan yang memuaskan. Hasilnya pun membuatku cukup takjub. Rambutku kini terlihat lebih indah dan stylist, kulitku juga sudah mulai semulus saat masih remaja, tak hanya itu kuku kaki dan tanganku juga secara rutin menjalani perawatan.

Sumpah…tak ada revolusi yang mudah dijalani. Termasuk niat suciku untuk tampil lebih cantik dan menarik. Aku sering kali tergoda makan ini dan itu di malam hari, maklumlah setiap kali Nara habis menyusu aku sering kali dihajar rasa lapar yang teramat sangat. Tapi semua itu soal terbiasa, saat lapar sudah menjadi bagian hidup, lama-lama aku mulai dapat mengendalikan perasaan ini.
Dan aku pun mulai berubah, memasuki minggu keempat beratku mulai turun 3,5 kg. Dan pada bulan ketiga beratku sudah mencapai angka 57 kg alias sudah 13 kg lebih ringan dari beratku sebelum memulai program ini. Beberapa baju-baju atasan sudah mulai dapat kugunakan kembali. Aku jadi lebih semangat dan bahagia dengan perubahan ini. Dan Mas Abi bilang, aku kelihatan makin seksi..pujian yang membuatku GR setengah mati.

Aku semakin bersemangat, apalagi Bapak berjanji akan datang ke Jakarta di saat Nara ulangtahun nanti. Dan itu artinya waktuku kurang 2 bulan lagi. Aku ingin menunjukkan ke Bapak, aku sudah berubah sejak terakhir kali meninggalkan Batu, namun lebih dari itu aku juga ingin membuat Bapak bangga bahwa gadis kecilnya ini terus berusaha menjadi perempuan sebaik Ibu.(bersambung)

11 September 2007

SAAT UNTUK BERUBAH

Huaa... akhirnya serial pertama Marisha Si Mama Gaul ini sampe juga di episode ke lima (buat yang belum baca... sebaiknya sih baca empat cerita sebelumnya biar gak bingung)... Selamat membaca ya...


Suara tangis Nara yang terbangun dari tidurnya, tiba-tiba menyadarkanku dari lamunan. Menyelamatkanku dari suasana tak enak dengan Diandra.
“Eh Nara bangun nih Di…”
“Gue mau donk liat anak lu… masa selama ini cuma lewat MMS doank”
“Tapi jangan dicubit-cubit ya..” Pesanku sok galak.
“Siap gue laksanakan!” Jawab Diandra sambil pasang aksi hormat bendera…
“Nih anakku Nara Di… gimana lucu kan?”
“Waaaaaa… gile nih bayi imut banget, kaya bayi bule ya Sha? Ya iyalah bokapnya ganteng dan nyokapnya juga cantik… walaupun itu dulu” Katanya menggodaku.
“Hahaha… iya… tapi kan tetep aja sekarang masih tersisa aura kecantikanku”
“Halah..Halah gaya lu Sha!!! Sini donk… gue pengen gendong Nara my sweety Baby” Lalu kuserahkan Nara dalam gendongan Diandra. Nara tampak nyaman dan gembira.
“Eh Sha.. gimana kalau Nara gue jadikan bintang iklan produk bayi?” Tanya Diandra antusias.
“Aduh kamu nih… kerjaan mulu yang dipikirin, pantesan gak laku-laku”
“Eits… bukan gak laku ya, tapi gue kan selektif memilih Darling… lagian umur masih segini, masih banyak yang bisa gue lakukan selain kawin dan punya anak kaya elu… ntar salah-salah gue malah jadi gendut lagi” Yayaya…topik menghinaku nampaknya tak bisa jauh dari bibir sahabatku ini.
“Bagus… teruskan menghina ibunya, dan Diandra Adistiningtyas akan kehilangan bintang iklan kecil yang akan bersinar di masa depan…” Kataku seperti membacakan sebuah berita di majalah.
“Aduh elu Sha… gue kan becanda, masa sih Nara gak boleh maen di iklan gue. Tanpa Audisi lho Sha…jarang-jarang ada tawaran hebat gini”
“iya… iya ntar aku ngomong sama Mas Abi dulu ya, tapi yang URGENT gue butuh pembantu nih Di… gue rasanya makin nggak sanggup ngurus rumah sendiri, apalagi Nara kan masih kecil”
“Apa… elu ngurus rumah ini sendiri tanpa pembokat?”
“Iya… emang kenapa?”
“OMG Sha… What happened with you? Gue aja nih ya yang tinggal di Apartemen dua kamar gak ada seperlima besar rumah lu, setiap hari tergantung sama pembantu. Lu kok bisa-bisanya ya ngurus semua sendiri…”
“Nah mangkanya aku butuh bantuan mu Di… sebenernya tadi ada sih tukang cuci yang dateng tapi…bla..bla..bla..” Lalu meluncurlah cerita tentang tiga kejadian sialan dalam hidupku sepanjang pagi ini. Dan tentu saja Diandra hanya bisa tertawa-tawa mendengar ceritaku, herannya Nala kecil juga terlihat tertawa-tawa gembira. Huuh… tak tahukah mereka berdua ini sama sekali bukan cerita yang lucu.


Jam 19.43 suara mobil Mas Abi terdengar memasuki garasi rumah kami. Aku sengaja berdandan istimewa untuk menyambutnya malam ini. Kugelung rambutku dengan gaya simple namun anggun, kupilih daster (yah sayangnya dengantubuh seukuran ini tak banyak baju yang bisa kupilih) dengan motif bunga-bunga yang sudah kujahit pinggangnya agar membuatku terlihat sedikit lebih ramping (walaupun aku tau usaha ini tidak membawa banyak perubahan), dan sengaja kurias wajahku dangan make up warna natural. Dan aku suka reaksi Mas Abi saat melihatku pertama kali.
“Sha… kamu cantik banget” katanya mesra sambil mengecup keningku.
“Ah masa sih Mas?” tak bisa kuhindari wajahku tersipu malu mendengar pujiannya.
“Iya… kamu beda, habis kan sudah lama banget gak lihat kamu dandan… ada apa nih” Tanya Mas Abi menggodaku.
“Yah gak ada apa-apa… Sha Cuma pengen aja dandan”
“Masa sih gak ada apa-apa…”
“Iya Mas… bener kok, yuk kita makan aja yuk” Kutarik lengan mas Abi menuju ruang makan, aku harus bergegas karena sebentar lagi Nala pasti bangun minta disusuin.
“Aku ambilin nasi ya Sha…” Tawar Mas Abi seperti biasanya.
“Hm… nasiku gak usah banyak-banyak ya mas”
“Tapi bukannya nanti ASInya jadi sedikit?” Tanya suamiku cemas
“Nggak papa kok kalau nmgurangin nasi sedikit, lagian kan Sha banyak makan sayur dan buah Mas… Sha pengen diet nih” Kataku malu-malu…
“Oh ya… kenapa Sha?” Tanya Mas Abi antusias
“Yah supaya Mas Abi tambah cinta… “
“Lho memangnya sekarang ini aku kurang cinta ya?” Uh suamiku ini memang gemar sekali menggodaku.
“Ya bukan gitu mas... Tapi kan tiap hari Mas Abi ketemu perempuan yang cantik-cantik, masa di rumah ketemu sama karung beras” Entah kenapa aku jadi ikut-ikutan istilah Diandra.
“Hahahaha… kamu ini kok jadi lucu gini sih Sha? Aku Cuma pengen kamu sehat, dan ASI buat Nala juga lancar… itu juga udah cukup kok buat aku Sha” Duh… Mas Abi kenapa romantis gini sih, bikin aku jadi terharu… masa buat suami sebaik ini aku nggak bisa ngasih penampilan yang lebih baik dari sekedar karung beras.
“Tapi Mas… hari ini aku sadar aku harus berubah…. Bla..bla..bla” Lalu meluncurlah cerita tentang rentetan peristiwa yang kualami hari ini. Tapi tak sperti Diandra, Mas ABi berusaha mendengarkan ceritaku dengan serius… walaupun ku tahu dia berusaha setengah mati untuk tidak tertawa.
“Jadi gitu mas ceritanya… pokoknya Sha harus kurus, Sha gak mau dikira pembantu lagi, jadi boleh gak Mas kalau Sha beli alat fitness buat di rumah… sama baju peramping badan, eh ada juga sabuk bergetar untuk ngecilin pinggang… duh yang mana ya mas, jadi bingung nih” Tanpa sadar aku mulai menggaruk-garuk rambutku, membuat gelung yang tadi kubuat dengan sepenuh usaha mulai berantakan gak karuan.
“Hihihi… Sha..Sha kamu lucu banget deh!” Mas Abi malah ikutan mengacak-acak rambutku dengan sayang. “Kamu tau kan aku selalu mendukung apapun Yang kamu inginkan sejauh itu positif dan Mas bisa, pasti Mas bantu… jadi besok pagi, Bu Laksmi seketaris kantor akan nelfon kamu Sha… nyatet apa yang kamu perlu, biar nanti dikirim ke rumah, atau kamu mau beli sendiri nanti duitnya biar aku transfer aja?” Tawar Mas Abi dengan tatapan matanya yang menghanyutkan… membuatku makin cinta pada suamiku ini.
“Eh dibelikan Bu Laksmi juga gak apa-apa Mas… atau biar dipilihin Diandra aja ya, aku malu kalau ketauan Bu Laksmi” Jawabku jujur.
“Ya sudah kayanya biar Diandra aja yang pilih, anak itu pasti tau yang paling cocok buat kamu” Kata Mas Abi bijaksana.
“Makasih yam as…’Kukecup pipinya sayang, baru saja akan dilanjutkan dengan aksi romantis lainnya suara tangisan Nara sudah memanggilku untuk kembali bertugas.(bersambung)

10 September 2007

DIANDRA, MY TRULY BEST FRIEND

Cerita ini adalah bagian keempat, dari seri pertama "Marisha Mama Gaul" supaya gak bingung sama isi ceritanya silahkan baca 3 episode sebelumnya... Selamat membaca!!!

“Ting…Tong…” Terdengar bel pintu depan berbunyi, cepat-cepat kuhapus sisa air di sudut mataku. Lalu segera kulangkahkan kaki menuju pintu ruang tamu.
“Ya ampun Marisha…..” Suara terkejut dari seorang perempuan usia akhir 20an. Dia Diandra, sahabatku sejak mengikuti pemilihan wajah sampul majalah PUTRI.
“Hai Darling…” Aku hanya bisa menyambutnya dengan senyum salah tingkah. Aku sudah bisa menduga setelah ini akan keluar caci maki dari bibir mungilnya.
“Oh No… No… Marisha. Gila lu ya… perasaan terakhir gue ketemu, pas lu kawin di Surabaya ukuran lu masih S semua, tapi sekarang sudah L… oh No.. XL…” Lalu jari-jari tangannya yang tampak sangat terawat, sibuk mencubit-cubit pinggangku, seakan aku barang pajangan. Yah Diandra adalah sahabatku yang paling jujur mengatakan apapun yang dipikirkannya tanpa mau tau apakah kata-katanya itu akan menyakiti hatiku atau tidak. Tapi mungkin karena alasan itu juga persahabatanku dengan Diandra terus bertahan melewati waktu, kenyataannya dia adalah teman terbaik yang pernah kumiliki. Yang sudah menemaniku melewati saat gembira dan banyak masa-masa sulit.
“Yah gitu deh… masuk yuk” ajakku kemudian
“Lu bener-bener nggak bisa dimaafkan Sha, lu utang cerita ke gue kenapa bisa jadi begini!” Matanya menatapku tajam menuntut penjelasan. Dia keliatan semakin cantik, Oh My God kenapa Diandra masih bisa terus cantik setelah tahun terus berganti.
“Yah aku kan baru melahirkan Di, beratku naik 25kg waktu hamil Nara, trus pas melahirkan cuma hilang 7 kg, tapi kayanya sekarang juga sudah naik 5 kilo-an lagi sih”
“Aduh alesan lu ya… ada yang lebih kreatif gak sih? Lu melahirkan udah enam bulan yang lalu Sha… Arzeti aja bisa langsung kurus, dasar aja elunya males banyak alesan”
“Ya iyalah… diakan model perawatan tubuh puluhan juta itu. Aku sih males Di ngabisin duit buat gituan” jawabku cuek
“Ampun Marisha… Kalau cuma buat perawatan Abi mah pasti masih mampu. Buktinya bisnis dia bisa sampe nembus Jakarta. Ini cuma soal kemauan elu aja… liat nih, udah bodi lu ancur, rambut lepek, kulit muka lu juga pasti udah lama banget kan gak facial… dan baju lu ini lho say, gak ada yang lebih buruk rupa lagi ya” Diandra terus bicara dengan semangat 45. Hehehe… kalau saja aku belum mengenalnya sedekat sekarang, aku pasti sudah sakit hati mendengar caci makinya, tapi aku tau dia tidak sedang bermaksud menyakitiku. Dan lebih dari itu, aku juga menyadari…bahwa semua yang dia katakan nyaris benar apa adanya. Aku memang mengerikan…
“Sha… jangan ngelamun donk” Sekarang tatapannya memelas, bibirnya sedikit maju ke depan karena cemberut.
“Enggak ngelamun kok, aku cuma takjub ngeliat kamu makin bawel gini… herannya aku kok ya betah ya jadi sahabat kamu… hihihi”
“Tapi Sha.. lu bener-bener keliatan menyedihkan. Gue emang belum pernah kawin dan punya anak. Tapinggak harus jadi kaya gini kali Sha kalau lu udah punya anak.. temen-temen gue yang punya anak juga pada bisa balik lagi kok ke bentuk tubuhnya semua”
“….” Aku hanya menghela nafas panjang, emang bicara selalu lebih gampang.
“Lu tau gak…tadinya gue kesini mau nawarin elu ikutan audisi untuk iklan susu kesehatan, tapi ngeliat lu gini bisa-bisa penonton jadi ketakutan, setelah minum susu kesehatan itu ntar jadi gede kaya elu” Diandra memang menjadi salah satu Creative Project Leader di sebuah Advertising Company yang cukup punya nama di Jakarta.
“Hehehe… ya udah aku diikutkan audisi iklan obat pelangsing aja, tapi untuk yang sebelum… hehehe” Kataku sok melucu.
“Gue gak lagi becanda Sha…” Diandra menatapku tajam
“Tapi kan hidup gak melulu soal langsing, cantik, terawat Di… banyak kok cara yang bisa kita lakukan untuk membuktikan diri sebagai perempuan yang hebat”
“Trus lu nganggep cara yang lu pilih ini hebat… tampang kucel, kumel mengerikan ini patut dapet acungan jempol, come on Sha.. gak usah munafik. Orang yang menarik selalu punya kesempatan lebih dari mereka yang tampang apa adanya asal-asalan… “
“Tapi kan gak selalu orang menilai kita Cuma dari penampilan Di”
Halah omong kosong dari mana pula itu, tetep aja Sha… kesan pertama ya dari penampilan. Kalau orangnya rapi dan cantik yang langsung kebayang ya orang ini bisa mendisiplinkan dirinya… hidupnya teratur dan terencana”
“Tapi gue nggak punya waktu buat segala macam urusan dandan dan tetek bengek itu Di, waktu gue sudah habis buat Nara..”
“Gombal… itu alesan lu aja. Lu liat nyokap lu sha, menghabiskan hidupnya buat ngerawat elu sama bokap… gak ngebikin dia jadi kucel, jelek kaya elu sekarang kan…” Kali ini kata-kata Diandra sangat mengena. Dia memang mengenal Ibu dengan baik, karena beberapa kali Diandra mampir dan menginap di rumah kami saat di Surabaya. Dan apa yang dikatakan Diandra barusan memang benar, berada di rumah, merawatku dan Bapak, tak membuat ibu lupa untuk merawat dirinya.
“…” lagi-lagi aku hanya bisa menghela nafas panjang
“Sha… gue akan dukung lu buat berubah. Dan lu harus berubah Sha… tapi dukungan gue akan percuma kalau lu sendiri gak ada niat buat berubah. Pikirin Nara… mungkin suatu saat dia akan merasa malu punya nyokap gendut dan tak terawat kaya elu, Abi juga bukan nggak mungkin tergoda ngelirik cewe lain kalau tiap hari di rumah disajikan pemandangan karung beras kaya bgini, dan buat diri lu sendiri… lu pasti jauh lebih sehat dan percaya diri kalau lu bisa lebih langsing dan care ama penampilan lu sendiri” Diandra bicara sambil menatapku dengan serius, suatu hal yang jarang dilakukannya.. dan kini nyaris membuatku kembali menangis. Iya.. apa yang dia katakan benar…bagaimana kalau nanti Mas Abi jadi melirik perempuan lain, bukankan di Jakarta ini ada begitu banyak perempuan cantik dan stylist seperti Diandra… dan aku tentu akan sangat kecewa kalau Nara malu punya Ibu sepertiku, selain itu belakangan ini aku juga merasa makin mudah lelah, baju dan koleksi sepatuku sudah tak ada yang muat.. membuatku tak cukup punya keberanian untuk bertemu orang-orang. (bersambung)

07 September 2007

JANJI HATI

Serial Marisha Mama Gaul (sebaiknya baca dulu dua seri sebelumnya ya biar gampang ngikuti ceritanya)

Maka sejak tekad itu menjadi semakin bulat, aku pun mulai menyusun janji hati. Janji pada diri sendiri, untuk tidak lagi boros, tidak belanja benda-benda yang nggak perlu, untuk mulai mengurangi hang out yang nggak penting, mencoret daftar teman hura-hura yang nggak membawa manfaat, belajar memasak makanan yang Mas Abi suka, belajar menjahit (paling nggak supaya aku bisa memasang kancing baju Mas Abi yang lepas), lebih perhatian pada mas Abi, dan makin mendekatkan diri pada Allah SWT.

Bagaimanapun aku semakin sadar bahwa hidup tidak melulu soal duniawi. Aku ingin bisa membesarkan anakku dengan tanganku sendiri, mendidiknya menjadi anak yang baik dan dapat bermanfaat bagilingkungannya. Bukankah kata Aa Gym, sebaik-baik orang adalah orang yang dapat memberi manfaat bagi lingkungannya… ih aku jadi sok bijak deh.

Lalu di tahun kedua pernikahan kami lahirlah Nara, bayi laki-laki sehat yang lucu dan menggemaskan. Aku benar-benar bahagia menerima berkah itu. Sejak awal saat mengetahui diriku hamil, aku sudah mulai mempersiapkan kehadiran bayi ini dengan sebaik-baiknya. Menjadi rajin berolahraga ringan, mulai membaca berbagai informasi seputar bayi dan perkembangannya, mendengarkan musik klasik (yang dulu bukan jenis musik pilihanku) hanya makan makanan yang sehat dan bergizi, menghindari kosmetik yang mungkin berbahaya bagi janin… yah apapun untuk kebaikan bayiku.

Tapi sejak hamil Nara pula, banyak hal yang berubah dariku. Berat badanku meningkat drastis hingga 25kg, yang sayangnya.. hanya berkurang 7 kg setelah aku melahirkan (Dengan kata lain 18 kg sisanya, masih ada di dalam tubuhku sebagai cadangan lemak). Lalu dengan alasan Ibu yang menyusui membutuhkan banyak asupan gizi, berat badanku pelan-pelan mulai naik lagi, melesat cepat meninggalkan angka idealku.

Tak hanya soal tubuh yang semakin bulat. Sejak kehamilan itu, aku juga makin jarang berdandan, mungkin karena bayiku laki-laki (yah banyak yang bilang kalau hamil bayi laki-laki si Ibu jadi malas berdandan… hehehe padahal kalau emang dasarnya malas ya malas aja)… tapi kebiasaan itu terus terbawa hingga Nala berusia hampir 7 bulan. Baju-baju kerenku kini hanya terlipat rapi di dalam lemari, sedang sepatu-sepatu lucu sudah hampir semuanya tak cukup lagi. Tanpa harus dikatakan, aku sebenarnya menyadari… diriku kini tampak sangat menyedihkan.(bersambung)

Bagaimana kelanjutan kisah Marisha?? nantikan besok ya

04 September 2007

TENTANG AKU

Serial Marisha Mama Gaul
cerita sebelumnya : Marisha, Mamanya Nara lagi sedih banget. Di komplek baru tempatnya tinggal sudah ada tiga orang yang nyangka dia pembantu cuma gara-gara liat penampilan fisik doank... Marisha sedih, BT, kesel... dan akhirnya nangis deh

Aku sendiri tak ingat awal mulanya, tapi tau-tau saja butir-butir bening itu mulai membasahi pipiku… Untung saja saat itu Nara sedang tidur, sehingga dia tidak perlu menyaksikan mamanya menjadi cengeng seperti ini. Aku kesal, marah, kecewa, jengkel… tapi entah untuk apa.

Mungkin sebaiknya aku tetap tinggal di Batu bersama Bapak. Sepertinya orang-orang disana tidak begitu memperdulikan bagaimana penampilanku. Toh selama ini Mas Abi juga tidak pernah memprotes bagaimanapun penampilanku. Waktu berjalan begitu cepat sejak Nara hadir dalam kehidupanku, rasanya tak banyak waktu yang tersisa untuk mematut-matut diri di depan cermin. Sesuatu yang dulu menjadi kegiatan wajibku.

Iya… aku dulu adalah Marisha si Miss Matching. Aku yang dulu akan memilih diam di rumah daripada harus tampil di muka umum dengan dandanan apa adanya… Dan di muka umum itu juga termasuk ke warung depan rumah. Dari rambut, wajah, pakaian sampai alas kaki selalu kucermati dengan serius. Berbagai informasi dari majalah mode serta situs-situs fashion adalah menu wajibku.

Semua berawal sejak aku terpilih sebagai wajah sampul sebuah majalah remaja PUTRI saat masih duduk di bangku kelas dua SMP. Aku memang hanya berhasil meraih juara dua, tapi pengalaman tiga minggu di Jakarta, mengikuti masa karantina dengan beberapa sesi kelas kepribadian dan modeling, telah banyak merubahku menadi remaja yang sadar mode. Bahkan setelah kembali ke Surabaya, tempat orangtuaku dulu tinggal, aku cukup di kenal sebagai model yang sukses. Image ini semakin menguat setelah aku berhasil memenangkan pemilihan putra-putri daerah Jawa Timur.

Yah tapi itu kan dulu… Dua tahun setelah lulus kuliah dari Fakultas Ekonomi Universitas Negeri di Surabaya, aku menikah dengan Mas Abi, laki-laki yang kukenal saat aku hadir dalam sebuah seminar tentang Bisnis dan Wirausaha. Lalu Ibu meninggal dunia, kemudian aku putuskan untuk melewati hari-hariku untuk menemani Bapak, yang semenjak pensiun memilih hidup di Kota Batu yang sejuk.

Bapak terlihat sangat rapuh ditinggal ibu. Aku bisa mengerti, Ibu pergi dengan sangat tenang tanpa diawali sakit apapun juga… membuat kami yang ditinggalkan merasa belum siap menerima kenyataan itu. Dan sebagai anak satu-satunya aku merasa wajib untuk merawat Bapak, paling tidak sampai beliau benar-benar siap menghadapi kenyataan pahit ini. Untunglah Mas Abi suamiku, masih bisa menjalankan bisnisnya di Surabaya, walaupun itu artinya harus dilakukan sambil bolak-balik Surabaya – Batu.

Tapi hidup di Batu sangat jauh berbeda dengan Surabaya, tidak ada Mall sebesar Tunjungan Plaza… dan nyaris tidak ada CafĂ© bagus buat hang out bertemu dengan teman-teman (apalagi dengan kenyataan hampir sebagian besar teman mainku hidup di Surabaya, dan hanya sesekali datang ke Batu untuk berlibur, yang artinya bukan menemuiku). Akhirnya hidupku kuhabiskan seputar rumah dan kebun sayur-mayur Bapak, serta sesekali ke pasar dekat rumah untuk membeli keperluan hidup kami sehari-hari.

Melewati hari bersama Bapak, membuatku mau tak mau harus mendengarkan cerita-cerita Bapak tentang Ibu. Cerita-cerita yang membuat aku makin jatuh cinta pada sosok Ibu, justru di saat beliau sudah tiada.
Ibuku adalah wanita sederhana yang menjalani hidupnya dengan mengabdikan diri kepada Bapak. Ibu dulu pernah membuka usaha jahit, namun setelah beberapa kali mengalami keguguran Bapak meminta Ibu untuk berhenti bekerja. Lalu lahirlah aku. Dari cerita Bapak.. Aku tahu Ibu benar-benar mengabdikan dirinya untuk merawat dan mendidikku agar menjadi anak yang baik, yang dapat dibanggakan oleh orangtua. Karena saat itu Ibu sudah divonis tidak mungkin lagi melahirkan seorang bayi dari rahimnya.

Bapak selalu menceritakan kisah-kisah tentang Ibu dengan ekspresi yang indah, kadang matanya terlihat berkaca-kaca, tapi tak jarang pula kulihat bibirnya senyum-senyum sendiri, sesuatu yang selama ini jarang kutemukan pada Bapak yang selalu sibuk menghabiskan waktunya untuk bekerja. Dan sejak saat itu pula aku bertekad untuk menjadi istri yang lebih baik buat Mas Abi, Laki-laki yang sudah sabar dan setia mendampingiku hampir 5 tahun ini (empat tahun pacaran dan 1 tahun usia pernikahan kami). Aku ingin suatu saat Mas Abi akan mengenangku, seperti Bapak mengenang Ibu.(bersambung)

03 September 2007

Pembantu = ME

Cerita ini adalah bagian dari Serial Marisha Mama Gaul, lucu, seru, menggemaskan... ye... ini sih kata yang nulis, alias saya sendiri

Ihhh… gemas, sebal, BT, jengkel, keki….kesaaaallll. Agrrrrh…aku nggak tau lagi harus bagaimana mendeskripsikan perasaanku hari ini. Gimana nggak kesal kalau belum jam 10 pagi, tapi sudah mengalami penghinaan besar-besaran sebanyak tiga kali. Yah mungkin “penghinaan” bukan kata yang tepat. Tapi tetap saja aku kesal…

Pagi tadi, untuk pertama kalinya sejak kami pindah ke Jakarta, aku mengajak Nara putra pertama kami berkeliling komplek dengan menggunakan stroller. Menurutku suasana lingkungan rumah baru kami cukup menyenangkan. Walaupun udara pagi hari di Jakarta, sangat jauh berbeda dengan sejuknya Kota Batu, Malang namun suasana tempat ini terasa sangat bersahabat, rumputnya tertata rapi, jalannya bersih, belum lagi hamparan bunga warna-warni seperti dalam buku Dongeng putri-putri (yah aku selalu membayangkan para putrid tinggal di negeri yang punya bunga warna-warni). Tapi tidak setelah aku bertemu dengan Ibu Norak Sok Asik itu.

Ibu Norak Sok Asik yang kemudian memperkenalkan dirinya dengan nama LIESYE itu, awalnya menyapa kami dengan senyum sumringah. (Mungkin tepatnya menyapa Nara, karena sejak awal matanya seperti memandang takjub ke arah bayiku yang lucu dan montok). Dan mulailah percakapan pagi hari kami yang pertama.
“Aduhhh…aduh… lucu sekali nih dede nya, siapa sayang namanya…” Sapa Ibu Norak Sok Asik itu sambil mengelus pipi mulus Nara.
“Nara Tante… Nara salim donk” Yah tentu saja ucapan ini datang dari aku sebagai basa-basi, lagian yang bener aja anak belum 7 bulan sudah bisa nyebutin namanya dan salaman.
“Aduh ni anak bener-bener lucu ya…” Mata perempuan itu masih terus takjub menatap polah Nara yang memang menggemaskan.
“Anaknya siapa sih ni Mbak… kok nggak pernah keliatan”
“Oh kita tinggal di rumah nomer tujuh belas Bu, Bapak Abimanyu… mungkin Ibu belum kenal karena kami memang baru pindah satu minggu ini ke Jakarta” Terangku panjang lebar berusaha bersikap ramah.
“Oh rumah cat biru itu ya… Ibunya kerja ya Mbak, ko nggak pernah keliatan sih… nanti bilang Ibu ya… di Komplek ini setiap hari sabtu, di minggu pertama ada arisan ibu-ibu komplek gitu…bla…bla..bla…” dan Ibu Norak Sok Asik itu terus saja berbicara panjang lebar tanpa memperhatikan wajahku yang mulai merah padam menahan kesal. Grhhhh… kurang ajar sekali ibu ini. Aku, Marisha Larasati adalah istri sah Bimas Abimanyu, yang juga Ibu Kandung Naratama Putra Abimanyu. Apa coba maksud pertanyaanya barusan….
“Mbak… Mbak dengerin saya ngomong nggak sih?” Tanya ibu itu dengan pandangan sinis kepadaku. Belum sempat kujawab, perempuan itu sudah kembali bicara dengan semangat 45… “Ya sudahlah… Nanti bilang aja sama ibu Abimanyu, untuk hubungi LISYE kalau mau tau informasi lebih lengkap. Inget ya Mbak, nama saya L-I-S-Y-E… nggak usah pake Bu, saya kan belum Ibu-Ibu!” Lalu wanita itu masuk ke dalam rumahnya, menyalakan mobil yang ada di garasi lalu pergi entah kemana. Meninggalkan aku yang terbengong-bengong keheranan di pinggir jalanan komplek.

Kulihat Nara sibuk menggigit-gigit mainan singa kecilnya sambil tertawa-tawa. Huhh… bayi kecil ini pasti masih belum sadar Ibunya yang ayu baru disangka pembantu. Kulihat lagi diriku pagi ini, sandal jepit dari bali yang sudah kumel, celana training suamiku, baju kaos dengan tulisan Gerak Jalan Sehat Keluarga RW 09 Kelurahan Pulosari, yang tak lain adalah punya Bapak (Kaos yang jadi favoritku karena rasanya dingin dan sangat nyaman dipakai). Wajah jelas masih polos tanpa bedak dan sentuhan make up, karena mana sempat memikirkan dandan dan atributnya kalau sedari bangun sampai tidur lagi aku selalu disibukkan dengan urusan Nara. Tapi kini aku jadi sedikit mengerti kenapa Ibu Norak Sok Asik itu tadi tidak mengenaliku sebagai Nyonya Abimanyu.
Tapi nasib sialku nampaknya tak hanya berhenti disitu, sampai di sekitar Gerbang Komplek perumahan yang kami tempati, seorang Satpam Kurus dengan Kumis Tebal ala Pak Raden menghampiri dengan sepeda motor bututnya.
“Wah Neng mau kemana nih jalan-jalan sama bocah bagus..” Whatz.. Eneng?? Apa orang Jakarta emang suka sok kenal, baru ketemu langsung panggil Eneng-enengan segala…
“Namanya Nara Pak bukan Bagus…”
“Aduh Si Eneng… Bocah Bagus tuh artinya ganteng, kasep.. Ini Bapaknya Bule kali ya, ampe bisa putih begini” Tatap si Satpam Kurus dengan Kumis Tebal tadi terpesona, dalam hati aku suka pujian Bapak ini… hihihi, dia nyangkain aku orang bule, padahal jelas-jelas Indonesia banget.
“Ah enggak kok pak orang Indonesia aja”
“Emang Eneng kerja di rumah nomer berapa, orang baru yak?” Apaaaaaaaa… lagi-lagi aku disangka pembantu. Sial..sial..sialll…. Lalu kutinggal Satpam Kurus dengan Kumis Tebal ala Pak Raden itu, begitu saja, tanpa permisi apalagi salam perpisahan. Sayup-sayup kudengar dia menggerutu “aduh… baru jadi pembantu aja udah judes amat”

Dan rangkaian ‘penghinaan’ ini semakin sempurna saat barusan aku membukakan pintu untuk seorang wanita, yang mengaku sebagai tukang cuci. Jujur aku sangat membutuhkan bantuan seseorang saat ini. Rasanya aku mulai tak sanggup lagi mengurus rumah saat Nara kecil begitu menyita hampir seluruh perhatianku, sayang wanita tukang cuci itu menyebutkan jawaban yang salah saat aku menyapanya dari balik pintu dengan pertanyaan.
“Mau cari siapa Bu?”
“Ibunya ada? Denger-denger katanya rumah ini lagi cari tukang cuci” jawab perempuan itu dengan logat sunda yang kental. Namun Sayang… karena dia menyangka aku bukan ibu pemilik rumah, tanpa pikir panjang aku menjawab pertanyaan itu singkat. “Maaf sepertinya salah rumah”. Lalu kututup pintu cepat… yah tindakan yang mungkin akan kusesali, tapi sudahlah… hatiku sedang tak bisa kuajak kompromi. Dan entah bagaimana aku mulai menangis (bersambung)

02 September 2007

CERPEN ( II )

Cerita sebelumnya : Wicaksono menganggap cerpen milik Ratri selalu bisa memprediksi apa yang akan terjadi, dan sialnya di cerpen yang terakhir seseorang dengan ciri-ciri mirip dia diprediksi akan mati. Akankah ini terjadi


“Mah… Rafi mana?” Tanyaku pada Ratri yang sedang mencuci piring sisa sarapan tadi.
“Tuh lagi di depan TV Pah… liat Dora”
“Lho anak cowo Papa kok liatnya Dora sih? Rafii… main sama papa aja yuk”
“Papah tadi katanya pusing, sudah istirahat aja pa… nanti sakitnya malah jadi tambah parah lho” Ucap Ratri perhatian. Duh sungguh beruntung aku punya istri Ratri, sudah cantik, perhatian, pandai merawat Rafi dan rumah kami, juga supel… rasanya suasana jadi ceria terus kalau ada Ratri. Bahkan Harlan sahabatku yang sangat pemilih pada wanita pun mengatakan aku laki-laki yang beruntung karena dapat memperistri Ratri “Sayang hanya ada satu Ratri di dunia ini ya Cak… kalau ada dua yang satu pasti sudah ku peristri juga” begitu selalu canda Harlan. Dalam hati aku bersyukur… untung Ratri dulu tidak tergoda pada Harlan yang jauh lebih gagah dan kaya. Aku jadi senyum-senyum sendiri membayangkan apa yang ada di kepalaku.
“Duh… Papah ini gimana sih, kok malah ketawa-ketawa sendiri” Gemasnya aku melihat Ratri yang sedang cemberut.
“Iya istriku yang cantiiiik… tadi sih pusing banget. Tapi sekarang sudah agak mendingan… Papah mau main sama Rafi ajah”
“Hayu… Papa sakit bohongan yah, Papa bolos ke kantor?” tanyanya penuh selidik.
“Hehehe… halah Mama juga seneng kan kalau Papa gak masuk kerja” kucolek pipi istriku genit.
“Ihhh genit deh… nanti kelihatan Rafi loh, ya sudah Pah… kalau gitu Mama titip Rafi bentar ya. Mama mau ke pasar… paling juga jam 9 nanti Bi Ijah tukang cuci dateng. Kalau Papa cape mau istirahat nanti Rafi dititipin aja dulu ke Bi Ijah ya”
“Oke Bosss!!” Aku pun segera menuju Ruang keluarga untuk mencari Rafi.

Jam 9 lewat 15 menit. Bi Ijah tukang cuci baru saja datang, aku sendiri sedang asyik-asyiknya bermain petak umpet dengan Rafi, tiba-tiba telfon rumahku berbunyi, “wah jangan-jangan dari kantor nih” bisikku dalam hati… segera aku pasang aksi suara lemas tak bertenaga
“Haloo…” Sapaku lirih
“Selamat pagi pak.. benar ini kediaman Ibu Amalia Ratri Dewi?” Hah… ada apa pula orang ini menyebut nama istriku selengkap itu.
“Betul pak… saya Wicaksono suaminya. Ada keperluan apa ya Pak?”
“Saya dari kepolisian ingin mengabarkan bahwa kerabat Ibu Amalia Ratri Dewi yang bernama Harlan Santoso tadi pagi mengalami kecelakaan dan saat ini sedang di rawat di Ruang Gawat Darurat Rumah Sakit Dr Murtopo” Ucap laki-laki yang mengaku polisi itu dengan tegas dan jelas.
“Maksud Bapak… Harlan… kecelakaan…?? Apakah parah pak… bagaimana kondisinya?” Tanyaku panik, ingin mengetahui keadaan sahabat karibku sejak kuliah itu.
“Silahkan Bapak langsung saja menjenguk keadaan korban di Rumas Sakit. Demikian Pak yang dapat kami kabarkan. Terimakasih dan Selamat siang” Lalu terdengar suara klik dari ujung pesawat telfon, pertanda telfon telah ditutup.

Tubuhku lemas. Aku sudah 12 tahun mengenalnya, bagaimanapun Harlan sudah kuanggap sebagai saudaraku. Bagaimana bisa Harlan yang sangat hati-hati itu harus mengalami kecelakaan sampai di Rawat di Rumah Sakit. Tunggu… Tunggu… kecelakaan?? Kenapa ini sama persis dengan CERPEN Ratri… Harlan kan belum menikah, ohh… apa artinya…??? Sial!! Jangan-jangan ledekan orang-orang kalau Rafi lebih pantas jadi anak Harlan itu benar, apa mungkin Ratri selingkuh dengan Harlan. Tidak mungkin Ratri istri yang setia… tapi memang harus kuakui, Ratri dan Harlan sangat dekat. Tapi itu kan karena Harlan sahabatku dan Ratri istriku… Oh mungkinkah dibelakangku ternyata mereka memiliki hubungan khusus. Siaaaaaaaaalll!!!

Aku harus tanyakan ini langsung pada Ratri. Segera kucari kunci Motor Bebekku. Kutitipkan Rafi pada Bi Ijah. Terakhir saat kucium pipinya sebelum aku berangkat tadi, dia menangis… Mungkin dia juga kaget melihat ku yang seperti ini. Kupacu kencang motor bebekku yang masih belum lunas ini, sayup dari kejauhan kudengar suara tangis Rafi “Papa jangan pelgi… Lafi ikut pa” Maaf Nak, Papa harus temukan mamamu secepatnya. Papa butuh jawaban… Apakah Papa memang papamu.

Tepat di depan pintu masuk pasar, kulihat Ratri sedang membawa keranjang belanjaannya. Aku begitu semangat… sampai tak menyadari sebuah Truk sampah yang melaju kencang dari arah kiriku. Segera kubanting stir… BRAAAAAAAAA…AKK, ah sepertinya aku terlambat. Sayup-sayup masih kudengar suara Ratri memanggil namaku…. Lalu semuanya menjadi gelap. (kie)

01 September 2007

CERPEN ( I )

“Papah… makasih ya laptop nya… ini mama balikin, tapi besok malam mama pinjem lagi ya Pah” Bisik Ratri manja tadi pagi. Sejak memutuskan keluar dari kantornya untuk merawat Rafi putra pertama kami, Ratri mulai gemar menulis CERPEN. Katanya sih meneruskan hobi lamanya sewaktu SMA dulu, “yah sapa tau ada majalah yang mau nerbitkan pah… kan lumayan buat beli mainan baru untuk Rafi” begitu alasannya saat kutanya untuk apa. Aku sih pada dasarnya setuju-setuju saja, kegiatan ini jelas jauh lebih baik daripada ngerumpi atau ngegosipin artis yang gak jelas. Tapi karena kami belum punya desktop (maklumlah keluarga baru yang punya banyak sekali kebutuhan mendesak lainnya) Ratri selalu meminjam laptop yang biasa kupakai untuk bekerja, tentu saja laptop ini properti milik kantor, yang dipinjamkan kepadaku sebagai salah satu karyawannya.

Sebenarnya aku sering merasa kasihan melihat Ratri malam-malam masih mengetik ulang CERPEN nya. Dalam hati aku memuji perjuangan istriku yang selalu terlihat ceria itu. Dia begitu bersemangat dalam menghasilkan karya-karyanya. Bayangkan saja, awalnya tulisan itu ditulis tangan pada lembar-lembar buku tulis, (yah.. tentu saja dengan tulisan cakar ayam ala Ratri). Baru malam harinya setelah Rafi tertidur dia membaca lagi tulisan (yang pasti sangat sulit dibaca itu), untuk diketik ulang dalam format Word. Walaupun dia selalu melarangku membaca hasil karyanya, dengan alasan “Mama malu ah… Papah pasti ngetawain. Nanti kalau sudah dimuat di majalah aja ya bacanya, sekarang masih rahasia” Pagi-pagi saat kantor masih sepi begini aku selalu mencuri-curi untuk membaca CERPEN Ratri.

Cerita-ceritanya ringan dan sederhana. Untuk ukuran pemula, menurutku Ratri cukup berbakat. Aku memang bukan penggemar Novel, tapi pengalaman sebagai pengurus Majalah Kampus dulu, membuatku yakin bahwa Ratri punya potensi untuk menjadi salah satu penulis yang berhasil. Tapi, bukan itu alasan utama kenapa aku ingin terus membaca tulisan-tulisan Ratri setiap hari (terutama mengingat kantorku sengaja berlangganan beberapa harian terkemuka sekaligus majalah ekonomi bisnis, yang maksudnya apalagi selain agar kami para karyawan rajin meng up date berita-berita itu dan menjadi cukup sensitif mengantisipasi terjadinya perubahan pasar… auuww bicaraku sudah seperti Pak Amir, Bosku yang botak itu).

Entah kebetulan atau Ratri memang bisa meramal masa depan… tapi hampir semua yang dia tulis kutemukan juga terjadi di sekitarku. Seperti saat dia menulis cerita tentang seorang wanita muda yang menang undian minyak goreng senilai 100 jt, Ross seketaris Bosku dapat hadiah HP 3G dari undian salah satu majalah wanita ternama. Terus ketika CERPEN Ratri bercerita tentang karyawan yang sedang stres berat karena menghadapi proyek besar, di saat yang sama kami sedang hanga-hangatnya membicarakan Pak Amir yang saking stresnya menghadapi salah satu klien besar, dia tidak sadar sudah memakai sepatu yang kanan dan kirinya berbeda untuk ke kantor. Hehehe… memang bosku satu itu rada edan.

Yah mungkin saja cerita-cerita itu cuma kebetulan saja. Tapi kemarin saat CERPEN Ratri bercerita tentang seseorang yang suka warna biru sampai semua-semuanya harus serba biru, secara ajaib semua karyawan yang kutemui memakai baju warna biru (termasuk Satpam dan OB yang memang seragamnya berwarna biru) Dan tidak hanya itu, cangkir, pulpen, sampai piring makan di kantin pun semua serba biru. Sungguh aneh bin ajaib. Sebenarnya aku ingin sekali menceritakan kebetulan-kebetulan ini kepada Ratri, tapi aku takut nanti ketahuan sudah mencuri baca karyanya yang berharga. Ratri tentu akan marah-marah padaku. Huuh… daripada harus dicemberutin istriku yang manja itu, lebih baik tak usah kubesar-besarkan masalah sepele ini.

Sampai akhirnya, tibalah aku pada pagi itu. Entah kenapa aku begitu penasaran ingin membaca apa yang ditulis Ratri tadi malam, maka saat kulihat dia sibuk menyiapkan sarapan pagi sambil menggendong Rafi, curi-curi kubaca CERPEN yang ditulisnya semalam. Hm judulnya singkat ‘BRAA…AK’ “judul yang aneh..” bisikku dalam hati. Dan seketika jantungku terasa berhenti saat aku mulai membaca isi CERPEN Ratri. Sial.. ceritanya sungguh menyeramkan, tentang seorang anak kecil yang sedang sedih karena Ayahnya meninggal akibat sebuah kecelakaan. Dan entah kebetulan atau ini sebuah pertanda, ciri-ciri anak itu mirip sekali dengan Rafi. Apakah artinya hari ini aku akan mati seperti isi CERPEN itu?

Detik itu juga aku putuskan untuk tidak masuk kantor, pokoknya hari ini aku harus jauh-jauh dari jalan raya. Walaupun ini hanya cerita dalam CERPEN Ratri, tapi aku sudah berkali-kali menyaksikan betapa tulisan-tulisan Ratri seringkali menjadi kenyataan. Ya Tuhan… aku masih ingin umur panjang… masih ingin melihat Rafi tumbuh besar. Untunglah Ratri tidak banyak tanya saat kubilang kepalaku pusing. Pak Amir pun langsung memberikan izin tidak masuk plus pesan agar aku banyak-banyak istirahat, wah tumben Si Bos langsung percaya. Asyiiikkk hari ini aku bisa main sampai puas dengan Rafi… (bersambung)

bagaimana kelanjutan kisah ini, akankah isi cerpen Ratri kali ini menjadi kenyataan... nantikan kelanjutannya (kie)