02 September 2007

CERPEN ( II )

Cerita sebelumnya : Wicaksono menganggap cerpen milik Ratri selalu bisa memprediksi apa yang akan terjadi, dan sialnya di cerpen yang terakhir seseorang dengan ciri-ciri mirip dia diprediksi akan mati. Akankah ini terjadi


“Mah… Rafi mana?” Tanyaku pada Ratri yang sedang mencuci piring sisa sarapan tadi.
“Tuh lagi di depan TV Pah… liat Dora”
“Lho anak cowo Papa kok liatnya Dora sih? Rafii… main sama papa aja yuk”
“Papah tadi katanya pusing, sudah istirahat aja pa… nanti sakitnya malah jadi tambah parah lho” Ucap Ratri perhatian. Duh sungguh beruntung aku punya istri Ratri, sudah cantik, perhatian, pandai merawat Rafi dan rumah kami, juga supel… rasanya suasana jadi ceria terus kalau ada Ratri. Bahkan Harlan sahabatku yang sangat pemilih pada wanita pun mengatakan aku laki-laki yang beruntung karena dapat memperistri Ratri “Sayang hanya ada satu Ratri di dunia ini ya Cak… kalau ada dua yang satu pasti sudah ku peristri juga” begitu selalu canda Harlan. Dalam hati aku bersyukur… untung Ratri dulu tidak tergoda pada Harlan yang jauh lebih gagah dan kaya. Aku jadi senyum-senyum sendiri membayangkan apa yang ada di kepalaku.
“Duh… Papah ini gimana sih, kok malah ketawa-ketawa sendiri” Gemasnya aku melihat Ratri yang sedang cemberut.
“Iya istriku yang cantiiiik… tadi sih pusing banget. Tapi sekarang sudah agak mendingan… Papah mau main sama Rafi ajah”
“Hayu… Papa sakit bohongan yah, Papa bolos ke kantor?” tanyanya penuh selidik.
“Hehehe… halah Mama juga seneng kan kalau Papa gak masuk kerja” kucolek pipi istriku genit.
“Ihhh genit deh… nanti kelihatan Rafi loh, ya sudah Pah… kalau gitu Mama titip Rafi bentar ya. Mama mau ke pasar… paling juga jam 9 nanti Bi Ijah tukang cuci dateng. Kalau Papa cape mau istirahat nanti Rafi dititipin aja dulu ke Bi Ijah ya”
“Oke Bosss!!” Aku pun segera menuju Ruang keluarga untuk mencari Rafi.

Jam 9 lewat 15 menit. Bi Ijah tukang cuci baru saja datang, aku sendiri sedang asyik-asyiknya bermain petak umpet dengan Rafi, tiba-tiba telfon rumahku berbunyi, “wah jangan-jangan dari kantor nih” bisikku dalam hati… segera aku pasang aksi suara lemas tak bertenaga
“Haloo…” Sapaku lirih
“Selamat pagi pak.. benar ini kediaman Ibu Amalia Ratri Dewi?” Hah… ada apa pula orang ini menyebut nama istriku selengkap itu.
“Betul pak… saya Wicaksono suaminya. Ada keperluan apa ya Pak?”
“Saya dari kepolisian ingin mengabarkan bahwa kerabat Ibu Amalia Ratri Dewi yang bernama Harlan Santoso tadi pagi mengalami kecelakaan dan saat ini sedang di rawat di Ruang Gawat Darurat Rumah Sakit Dr Murtopo” Ucap laki-laki yang mengaku polisi itu dengan tegas dan jelas.
“Maksud Bapak… Harlan… kecelakaan…?? Apakah parah pak… bagaimana kondisinya?” Tanyaku panik, ingin mengetahui keadaan sahabat karibku sejak kuliah itu.
“Silahkan Bapak langsung saja menjenguk keadaan korban di Rumas Sakit. Demikian Pak yang dapat kami kabarkan. Terimakasih dan Selamat siang” Lalu terdengar suara klik dari ujung pesawat telfon, pertanda telfon telah ditutup.

Tubuhku lemas. Aku sudah 12 tahun mengenalnya, bagaimanapun Harlan sudah kuanggap sebagai saudaraku. Bagaimana bisa Harlan yang sangat hati-hati itu harus mengalami kecelakaan sampai di Rawat di Rumah Sakit. Tunggu… Tunggu… kecelakaan?? Kenapa ini sama persis dengan CERPEN Ratri… Harlan kan belum menikah, ohh… apa artinya…??? Sial!! Jangan-jangan ledekan orang-orang kalau Rafi lebih pantas jadi anak Harlan itu benar, apa mungkin Ratri selingkuh dengan Harlan. Tidak mungkin Ratri istri yang setia… tapi memang harus kuakui, Ratri dan Harlan sangat dekat. Tapi itu kan karena Harlan sahabatku dan Ratri istriku… Oh mungkinkah dibelakangku ternyata mereka memiliki hubungan khusus. Siaaaaaaaaalll!!!

Aku harus tanyakan ini langsung pada Ratri. Segera kucari kunci Motor Bebekku. Kutitipkan Rafi pada Bi Ijah. Terakhir saat kucium pipinya sebelum aku berangkat tadi, dia menangis… Mungkin dia juga kaget melihat ku yang seperti ini. Kupacu kencang motor bebekku yang masih belum lunas ini, sayup dari kejauhan kudengar suara tangis Rafi “Papa jangan pelgi… Lafi ikut pa” Maaf Nak, Papa harus temukan mamamu secepatnya. Papa butuh jawaban… Apakah Papa memang papamu.

Tepat di depan pintu masuk pasar, kulihat Ratri sedang membawa keranjang belanjaannya. Aku begitu semangat… sampai tak menyadari sebuah Truk sampah yang melaju kencang dari arah kiriku. Segera kubanting stir… BRAAAAAAAAA…AKK, ah sepertinya aku terlambat. Sayup-sayup masih kudengar suara Ratri memanggil namaku…. Lalu semuanya menjadi gelap. (kie)

No comments: