04 September 2007

TENTANG AKU

Serial Marisha Mama Gaul
cerita sebelumnya : Marisha, Mamanya Nara lagi sedih banget. Di komplek baru tempatnya tinggal sudah ada tiga orang yang nyangka dia pembantu cuma gara-gara liat penampilan fisik doank... Marisha sedih, BT, kesel... dan akhirnya nangis deh

Aku sendiri tak ingat awal mulanya, tapi tau-tau saja butir-butir bening itu mulai membasahi pipiku… Untung saja saat itu Nara sedang tidur, sehingga dia tidak perlu menyaksikan mamanya menjadi cengeng seperti ini. Aku kesal, marah, kecewa, jengkel… tapi entah untuk apa.

Mungkin sebaiknya aku tetap tinggal di Batu bersama Bapak. Sepertinya orang-orang disana tidak begitu memperdulikan bagaimana penampilanku. Toh selama ini Mas Abi juga tidak pernah memprotes bagaimanapun penampilanku. Waktu berjalan begitu cepat sejak Nara hadir dalam kehidupanku, rasanya tak banyak waktu yang tersisa untuk mematut-matut diri di depan cermin. Sesuatu yang dulu menjadi kegiatan wajibku.

Iya… aku dulu adalah Marisha si Miss Matching. Aku yang dulu akan memilih diam di rumah daripada harus tampil di muka umum dengan dandanan apa adanya… Dan di muka umum itu juga termasuk ke warung depan rumah. Dari rambut, wajah, pakaian sampai alas kaki selalu kucermati dengan serius. Berbagai informasi dari majalah mode serta situs-situs fashion adalah menu wajibku.

Semua berawal sejak aku terpilih sebagai wajah sampul sebuah majalah remaja PUTRI saat masih duduk di bangku kelas dua SMP. Aku memang hanya berhasil meraih juara dua, tapi pengalaman tiga minggu di Jakarta, mengikuti masa karantina dengan beberapa sesi kelas kepribadian dan modeling, telah banyak merubahku menadi remaja yang sadar mode. Bahkan setelah kembali ke Surabaya, tempat orangtuaku dulu tinggal, aku cukup di kenal sebagai model yang sukses. Image ini semakin menguat setelah aku berhasil memenangkan pemilihan putra-putri daerah Jawa Timur.

Yah tapi itu kan dulu… Dua tahun setelah lulus kuliah dari Fakultas Ekonomi Universitas Negeri di Surabaya, aku menikah dengan Mas Abi, laki-laki yang kukenal saat aku hadir dalam sebuah seminar tentang Bisnis dan Wirausaha. Lalu Ibu meninggal dunia, kemudian aku putuskan untuk melewati hari-hariku untuk menemani Bapak, yang semenjak pensiun memilih hidup di Kota Batu yang sejuk.

Bapak terlihat sangat rapuh ditinggal ibu. Aku bisa mengerti, Ibu pergi dengan sangat tenang tanpa diawali sakit apapun juga… membuat kami yang ditinggalkan merasa belum siap menerima kenyataan itu. Dan sebagai anak satu-satunya aku merasa wajib untuk merawat Bapak, paling tidak sampai beliau benar-benar siap menghadapi kenyataan pahit ini. Untunglah Mas Abi suamiku, masih bisa menjalankan bisnisnya di Surabaya, walaupun itu artinya harus dilakukan sambil bolak-balik Surabaya – Batu.

Tapi hidup di Batu sangat jauh berbeda dengan Surabaya, tidak ada Mall sebesar Tunjungan Plaza… dan nyaris tidak ada CafĂ© bagus buat hang out bertemu dengan teman-teman (apalagi dengan kenyataan hampir sebagian besar teman mainku hidup di Surabaya, dan hanya sesekali datang ke Batu untuk berlibur, yang artinya bukan menemuiku). Akhirnya hidupku kuhabiskan seputar rumah dan kebun sayur-mayur Bapak, serta sesekali ke pasar dekat rumah untuk membeli keperluan hidup kami sehari-hari.

Melewati hari bersama Bapak, membuatku mau tak mau harus mendengarkan cerita-cerita Bapak tentang Ibu. Cerita-cerita yang membuat aku makin jatuh cinta pada sosok Ibu, justru di saat beliau sudah tiada.
Ibuku adalah wanita sederhana yang menjalani hidupnya dengan mengabdikan diri kepada Bapak. Ibu dulu pernah membuka usaha jahit, namun setelah beberapa kali mengalami keguguran Bapak meminta Ibu untuk berhenti bekerja. Lalu lahirlah aku. Dari cerita Bapak.. Aku tahu Ibu benar-benar mengabdikan dirinya untuk merawat dan mendidikku agar menjadi anak yang baik, yang dapat dibanggakan oleh orangtua. Karena saat itu Ibu sudah divonis tidak mungkin lagi melahirkan seorang bayi dari rahimnya.

Bapak selalu menceritakan kisah-kisah tentang Ibu dengan ekspresi yang indah, kadang matanya terlihat berkaca-kaca, tapi tak jarang pula kulihat bibirnya senyum-senyum sendiri, sesuatu yang selama ini jarang kutemukan pada Bapak yang selalu sibuk menghabiskan waktunya untuk bekerja. Dan sejak saat itu pula aku bertekad untuk menjadi istri yang lebih baik buat Mas Abi, Laki-laki yang sudah sabar dan setia mendampingiku hampir 5 tahun ini (empat tahun pacaran dan 1 tahun usia pernikahan kami). Aku ingin suatu saat Mas Abi akan mengenangku, seperti Bapak mengenang Ibu.(bersambung)

No comments: