23 September 2007

SULASTRI

Namaku Sulastri. Asli dari Tegal. Mungkin karena dari ndeso itu namaku diawali “su..” seperti juga nama empat saudaraku yang lain. Kakakku yang paling tua namanya Sumarni, lalu yang kedua Sutowo. Sayang Mas Towo umurnya gak panjang, seingatku (aku juga agak lupa karena waktu itu masih kecil) Mas Towo mencret-mencret hebat. Bapak yang buruh tani dan Emak yang kerja serabutan, tidak punya cukup uang untuk membawa Mas Towo ke Puskesmas, dan akhirnya Mas Towo pun meninggal. Adikku ada dua, Suhartini dan yang paling kecil bernama Subagyo.

Biar gampang biasanya aku memperkenalkan diri dengan nama Lastri. Sebenarnya aku suka nama Sulastri, tapi waksu sekolah dulu, teman-teman suka menggoda dengan memanggilku “Sul..Sul..” Dan aku tau, itu pasti bukan hanya karena namaku yang Sul..Lastri, tapi juga karena di kakiku ada banyak bisul. Mangkanya aku hanya sekolah sampai kelas 4 SD, aku bosan dipanggil “sul..” si bisul. Tapi alasan yang utama karena aku tau, Bapak dan Emak mulai kesulitan mencari uang untuk biaya sekolah, dan aku rasa sudah waktunya Tini (yang sudah 8 tahun) untuk mulai sekolah. Toh aku sudah bisa baca tulis, serta yang paling penting ngitung duit.

Karena hidupku sejak kecil sulit, aku tau kalau punya duit adalah hal yang amat sangat penting. Dan Emak selalu mengajarkan kepada kami untuk bekerja yang halal, karena hanya rezeki yang halal yang akan membawa manfaat. Tapi sayangnya, di desaku tidak banyak pekerjaan halal yang bias dapat duit banyak. Mangkanya dari dulu aku kepengen bias kerja di Jakarta. Teman-teman ku yang pulang dari Jakarta selalu jadi kelihatan lebih cantik, punya baju yang bagus-bagus, punya lipstick warna-warni, dan aku tau itu semua pasti butuh duit yang tidak sedikit.

Tapi Emak melarang niatku. Bukan karena Emak gak mau duit banyak, tapi Emak takut nasibku akan seperti Mbak Marni, hamil tanpa suami. Emak memang tidak marah seperti Bapak, tapi aku tau Emak kecewa. Matanya yang bilang begitu. Dan sejak kejadian itu, Emak seperti tidak bosan-bosannya menasehati aku untuk berhati-hati dnegan semua jenis laki-laki, baik yang kelihatan sopan dan alim, apalagi yang terang-terangan kurang ajar. Waktu anak Mbak Marni lahir, ekonomi keluarga kami jadi semakin sulit. Makin sedikit lahan persawahan yang bias digarap Bapak, Emak juga sudah semakin tua. Aku tidak bisa tinggal diam. Akhirnya walau dengan berat hati, Emak dan Bapak mengizinkanku pergi ke Jakarta.

Warung Tegal di daerah Gajah Mada adalah tempat kerja pertamaku di Jakarta. Sebenenarnya pemilik warung itu sangat ramah, seorang Janda berusia 40 thn. Hanya saja aku tak tahan dnegan tatapan-tatapan kurang ajar beberapa pengunjung. Bahkan pernah, salah satunya meremas dadaku dengan alas an mengusir lalat. Tidak sampai emapt bulan aku pun minta berhenti. Kebetulan saat itu Tatik teman kerjaku yang lebih dulu keluar dari warung itu, menawariku pekerjaan sebagai pembantu untuk sebuah rumah mewah di dekat tempatnya bekerja. Aku pun setuju.

Pemilik rumah tempatku bekerja adalah sepasang suami istri yang snagat sibuk. Berangkat pagi-pagi sekali, pulangnya baru tengah malam. Sehari-hari di rumah hanya ada Mas Ruben, anak mereka satu-satunya yang masih duduk di bangku SMU. Kadang-kadang Mas Ruben pulang bersama teman-teman sekolahnya. Harus kuakui, sebagian dari mereka tampan dan gagah, jauh berbeda dengan pemuda-pemuda yang ada di desaku dulu. Sayang sikapnya sering kali kurang ajar. Kalau hanya kata-kata iseng aku bias memaklumi, namun pernah kutemukan mereka sedang mengintipku saat mandi. Lalu aku minta keluar. Waktu itu aku belum genap 2 bulan bekerja, dan pemilik rumah hanya bersedia membayar gajiku untuk bulan pertama. Tak apalah, ditambah duit saat bekerja di warung jumlahnya sudah lumayan untuk pulang kampung. Tapi aku belum ingin pulang….

Beruntung ada Mang Karta, tukang ojek yang katanya membutuhkan pembantu untuk menemani istrinya yang sedang hamil tua. Aku bersedia, walaupun gajinya sangat kecil. Tak apalah.. yang penting aku masih bias bekerja di Jakarta. Tapi sepertinya aku masih kurang beruntung, istri Mang Karta orang yang sangat pencemburu. Menurutnya Mang Karta menyukaiku, padahal tak sekalipun Mang Kartabersikap tak sopan ataupun kurang ajar. Tapi aku teringat pesan Emak, untuk tidak mudah percaya dengan laki-laki. Untuk yang kesekian kali, aku putuskan untuk keluar. Namun Mang Karta menahanku, dia berjanji untuk mencarikan pekerjaan yang baik untukku, yang mau mempekerjakanku dengan gaji yang layak. Entah kenapa aku percaya Mang Karta, maka kuikuti kata-katanya. Dan sampailah aku di rumah itu.(bersambung)

No comments: